DESENSITISASI DALAM KONSELING
A.
PENGERTIAN
DESENSITISASI
Willis (2010) menjelaskan bahwa
teknik ini dikembangkan oleh Wolpe yang mengatakan bahwa semua perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan.
Dan bahwa respon terhadap kecemasan dapat dieliminasi dengan menemukan respon
yang antagonistik.
Perangsangan yang menimbulkan
kecemasan secara berulang-ulang disepasangkan dengan keadaan relaksasi sehingga
hubungan antara perangsangan dengan respon terhadap kecemasan dapat
dieliminasi.
Teknik desensitisasi sistematis
bermaksud mengajarkan klien untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan
kecemasan yang dialami klien. Teknik ini tidak dapat berjalan tanpa teknik
relaksasi.
Menurut Taufik dan Yeni Karneli
(2011) teknik desensitisasi merupakan salah satu teknik yang sering
digunakan dalam terapi tingkah laku. Teknik ini digunakan dalam terapi tingkah
laku. Teknik ini digunakan dengan memasukan beberapa teknik, di antaranya
memikirkan sesuatu, penenangan diri dan membayangkan sesuatu. Desensitisasi
adalah suatu teknik untuk membantu klien mengurangi, menurunkan atau
mengumpulkan kepekaan yang berlebihan terhadap suatu perangsang tertentu. Misalnya
jijik, takut, cemas yang berlebihan terhadap suasana, keadaan atau benda
tertentu.
Desensitisasi diberikan kepada
individu-individu yang mengalami kecemasan menghadapi berbagai situasi, seperti
cemas, takut menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi,
kecemasan neurotik, takut melihat darah, naik pesawat terbang dan sebagainya.
Kecemasan dan ketakutan yang dialami oleh individu mendatangkan banyak
kesulitan dalam bertingkah laku yang wajar pada situasi tertentu. Misalnya
klien takut menghadapi ujian, menjadi gemetar, gugup dan keluar keringat dingin
saat memasuki ruangan ujian. Keadaan ini jelas mendatangkan kesulitan pada
klien untuk menjawab ujian dengan baik. Dengan diberikan desensitisasi kepada
klien ini, maka diharapkan ia dapat mengikuti ujian secara wajar.
Untuk menghilangkan
kecemasan-kecemasan yang neurotik tersebut klien dilatih secara santai
mengasosiasikan keadaan dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang
dibayarkan atau divisualisasikan. Situasi-situasi dihadirkan dalam sutau
rangkaian yang sangat tidak “mengancam” kepada yang sangat “mengancam”.
Tingkatan stimulus penyebab kecemaasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan
stimulus penghasil keadaan santai sampai penghasil kecemasan dan respon
kecemasan itu terhapus.
Ukuran kecemasan atau ketakutan yang
dialami individu sehingga teknik ini perlu digunakan adalah ketakutan atau
kecemasan itu tidak wajar sehingga respon klien terhadap sesuatu juga tidak
wajar, dan ketakutan atau kecemasan itu mengganggu setelah konselor mengetahui
stimulus atau pengalaman belajar yang menyebabkan klien menjadi takut atau
cemas yang tidak wajar terhadap sesuatu.
Menurut Munro (Alih bahasa oleh Erman
Amti, 1983) pendekatan ini dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku melalui
perpaduan beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan
diri, dan membayangkan sesuatu. Dalam hal ini penyuluh berusaha memberikan
“suntikan” bagi klien untuk menanggulagi ketakutan ataupun kebimbingan yang
mendalam dalam suasana tertentu. Penyuluh melakukan teknik ini dengan
memanfaatkan ketenangan jasmaniah klien untuk melawan ketegangan jasmaniah yang
timbul bila klien berada pada suasana yang menakutkan atau menegangkan.
Didalam konseling itu klien diajar
untuk santai dan menghubungkan keadaan santai itu dengan membayangkan
pengalaman-pengalaman yang mencemaskan, menggusarkan atau mengecewakan. Situasi
yang dihadirkan disusun secara sistematis dari yang kurang mencemaskan hingga
yang paling mencemaskan.
B.
PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN
DALAM MENERAPKAN DESENSITISASI
Menurut Munro (Alih bahasa oleh Erman
Amti, 1983) dalam proses ini ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan
dan ada beberapa tahap yang perlu dilalu, yaitu sebagai berikut:
1. Teknik
desensitisasi sebaiknya digunakan bagi klien yang merasa takut terhadap satu
hal tertentu saja, seperti takut menghadapi ujian, takut naik pesawat terbang,
takut melihat darah, dan sebagainya.
2. Sebelum
memulai, klien harus diberi penjelasan secara tuntas tentang proses
desensitisasi itu. Proses pengubahan tingkah laku itu tidak mungkin berhasil
jika klien sendiri tidak yakin bahwa ketakutan itu merupakan hasil belajar dan
cara menghilangkannya pun dapat melalui proses belajar. Klien hendaknya
diyakinkan bahwa teknik desensitisasi akan memberikan hasil yang cukup baik.
3. Terlebih
dahulu klien harus berada dalam keadaan yang benar-benar tenang. Ketenangan ini
dapat terjadi melalui latihan yang diatur oleh penyuluh atau atas kesukarelaan
klien sendiri.
4. Selanjutnya
peyuluh dan klien bersama-sama menyusun suatu daftar kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan ketakutan itu. Kejadian-kejadian ini kemudian diurutkan
muali dari yang kurang menakutkan sampai kepada yang paling menakutkan. Hal
yang kurang menakutkan biasanya adalah kejadian-kejadian yang paling jarang
diumpai dan tidak begitu besar pengaruhnya terhadap keluhan utama klien.
5. Dalam
tingkat berikutnya penyuluh terlebih dahulu membantu klien mencapai suatu
keadaan benar-benar tenang secara jasmaniah.
6. Dengan
demikian klien bersama penyuluh menangani kejadian-kejadian itu secara
bertahap. Penyuluh mendorong klien untuk menerapkan hal-hal yang dilatihkan itu
di dalam kehidupannya, dan melakukan hal-hal yang perlu untuk menolong diri
sendiri bilamana ketegangan atau kebingungan terjadi (misalnya melalui bernafas
dalam-dalam, penenangan sebagian, menghentikan pemikiran yang sedang
berlangsung.
C.
LANGKAH-LANGKAH
DESENSITISASI
Menurut Taufik dan Yeni Karneli
(2011) langkah-langkah pelaksanaan teknik desensitisasi ini adalah sebagai
berikut:
1. Menjelaskan
kepada klien perlunya teknik desensitisasi dilakukan. Penjelasan meliputi
pentingnya teknik desensitisasi dilakukan pada klien dan penjelasan tentang
pengertian, tujuan, prosedur dan cara desensitisasi dilaksanakan.
2. Bersama
klien konselor membuat daftar urut jenjang ketakutan atau kecemasan. Urut
jenjang ketakutan atau kecemasan disusun dari yang paling tidak ditakuti sampai
pada peristiwa yang paling ditakuti. Kata-kata yang digunakan hendaknya adalah
kata kerja yang positif.
Contoh:
a. Mendengarkan
kata darah
b. Melihat
gambar orang luka
c. Melihat
darah
3. Latihan
penenangan sederhana, sehingga klien berada dalam keadaan santai.
4. Melaksanakan
desensitisasi urut jenjang tingkat kecemasan yang pertama.
5. Mengedakan
evaluasi berkenaan dengan perasaan ketakutan klien dan tindak lanjut.
Untuk
mengetahui kesan dan perasaan klien tentang latihan yang baru saja dilakukan,
perlu dilakukan evaluasi dengan cara bertanya pada klien tentang kesan dan
perasaan setelah dilakukan latihan. Apabila klien sudah dapat menerima stimulus
yang diberikan pada latihan secara wajar, maka dapat dilakukan tindak lanjut
dengan latihan untuk urut jenjang ketakutan berikutnya. Tetapi bila klien belum
dapat menerima stimulus yang dilatihkan secara wajar, maka latihan diulangi
lagi sampai klien benar-benar bisa menerima perangsang tersebut secara wajar.
Apabila sudah demikian latihan dapat dilanjutkan pada langkah berikutnya.
Begitulah seterusnya, sampai semua urut jenjang kejadian yang disusun dapat
diterima dengan wajar. Bila klien sudah dapat menerima perangsang secara wajar,
maka latihan dapat diakhiri.
KEPUSTAKAAN
Munro
(Alih bahasa oleh Erman Amti). 1983. Penyuluhan
(Counseling). Yogyakarta: Ghalia Indonesia.
Taufik
dan Yeni Karneli. 2011. Prosedur dan
Teknik Konseling Perorangan. Padang: BK-UNP.
Willis,
Sofyan.S. 2010. Konseling Individual.
Bandung: Alfabeta.