HAKIKAT
KENAKALAN REMAJA
A.
Pengertian
Kenakalan
Suatu
perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan itu bertentangan
dengan norma-norma yang ada di masyarakat di mana ia berada dan merupakan suatu
perbuatan anti sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, “kenakalan dengan kata dasar nakal adalah suka
berbuat tidak baik, suka mengganggu, dan suka tidak menurut”( http://eprints.ung.ac.id/4398/9/2012-1-86201-111410201-bab2-28082012055913.
pdf).
Selanjutnya menurut Kartini Kartono (2011) “ delinquent berasal dari kata Latin ‘delinquere’ yang berarti:
terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat,
a-sosial, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror,
tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain”. Delinkuen selalu
memiliki konotasi yang negatif seperti pelanggaran, kejahaatan, penyimpangan
yang dilakukan oleh anak-anak muda dibawah usia 22 tahun.
Ari
H Gunawan (2010 : 89) berpendapat bahwa:
Istilah
kenakalan berasal dari kata dasar “nakal” (bahasa Jawa), yang istilah
nominal/harfiah muncul dari kata “anak nakal” artinya “ada akal atau timbul
akalnya”. Seorang anak kecil yaang mulai timbul akal/pikirannya memiliki
semangat ingin tahu yang besar untuk menirukan, misalnya ikut mengambilgelas
atau piring dari atas meja, tetapi karena kurang kemampuannya dan belum
terpikirkan akibat-akibatnya ia dapat menjatuhkan gelas/piring yang diraihnya
tersebut hingga pecah berantakan akibat hal yang tak terfikirkan tersebut ia
bisa kena marah karenaa dianggap melanggar norma sosial (memecahkan,
merugikan), bahkan kadang-kadang terpaksa dicubit oleh ibunya dan bila berulang
kali dilakukan ia akan mendapat predikat “anak nakal”.
Menurut
sudarsono (2012) “kenakalan bukan hanya merupakan perbuatan anak yang
melawan hukum semata akan tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan yang
melanggar norma masyarakat”. Dengan demikian masalah-masalah sosial yang timbul
karena perbuatan remaja dirasakan sangat mengganggu, dan merisaukan kehidupan
masyarakat, bahkan sebagian anggota masyarakat menjadi terancam hidupnya.
Menurut
Kartini Kartono (2011) sebagai berikut:
Secara
sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku
yang secara ekonomis, politis, dan sosial-psikologis sangat merugikan
masyarakat. Melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga
masyarakat (baik yang telah tercaakup dalam undang-undang, maupun yang belum
tercantum dalam undang-undang pidana).
Menurut
Kartini Kartono (2011) “anak-anak muda yang delinkuen atau jahat itu
disebut pula sebagai anak cacat secara sosial”. Mereka menderita cacat mental
disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat.
Pada
dasarnya perilaku delinkuen tidak disukai oleh masyarakat dan banyak
menimbulkan reaksi kejengkelan dan kemarahan dikalangan masyarakat. Perilaku
delinkuen ini terjadi karena seseorang memiliki kontrol-diri yang rendah
sehingga mudah untuk melakukan perbuatan-perbuatan negatif. Anak-anak delinkuen
melakukan kejahatan karena didorong oleh konflik batin sendiri lewat tingkah
laku agresif, implusif, dan primitif.
B.
Pengertian
Remaja
Masa
remaja merupakan salah satu periode dalam rentangan kehidupan manusia, periode
di mana individu meninggalkan masa anak-anaknya dan mulai memasuki masa dewasa.
Pada periode ini remaja tidak memiliki tempat yang jelas karena mereka sudah
tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara
penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa, remaja berada diantara periode anak-anak
dan pada periode dewasa sehingga terdapat keraguan akan peran yang harus
dilakukan.
Menurut
Arthur T. Jersild (1965) sebagai berikut:
Adolescents are
in transitional phase of development, but this does not make them unique. in
every period of development from birth on ward a person is moving from one
stage to the next along life's way. there are, however, some aspects of
adolescence that makes it different from other phases of growth.
Menurut
Hurlock (1998) “masa remaja merupakan masa dimana seorang individu
mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan
baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah”.
Sedangkan menurut Papalia dan Olds (dalam Yudrik Jahja, 2011) “masa
remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa
yang pada umunya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia
akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun”. Selanjutnya menurut pendapat
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2012) “fase remaja merupakan fase
perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari
aspek kognitif, emosi, maupun fisik”.
Menurut
Elida Prayitno (2006) “remaja dapat dikatakan sebagai individu yang telah
mengalami masa balig atau telah berfungsinya hormon reproduksi sehingga wanita
mengalami menstruasi dan pria mimpi basah”. Menurut Alvin E. Winder dan David
L. Angus (1968) “adolescence is the process of becoming adult, growing into
maturity”.
Pada
umumnya remaja menuntut dan menginginkan kebebasan dari orang dewasa lainnya
dalam bertindak, akan tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan
akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk mengatasi setiap permasalahan
tersebut.
Banyak
anggapan negatif yang muncul pada masa remaja seperti munculnya tingkah laku
yang negatif, periode badai, suka melawan, bermasalah dengan proses penyesuaian
diri, tidak stabil, menuntut kebebasan dan berbagai label buruk lainnya. Orang
dewasa sering kali memandang remaja sebagai anak yang tidak rapih, tidak dapat
diberikan kebebasan, tidak dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak.
Sehingga orang dewasa harus senantiasa membimbing dan mengawasi mereka.
Anggapan-anggapan
dan label-label negatif tentang remaja mempengaruhi konsep dirinya, jika mereka
selalu disebut sebaagai anak yang malas, mengganggu orang lain, tidak sopan dan
label buruk lainnya, maka akibatnya mereka berpendapat bahwa diri mereka tidaak
diinginkan dan tidak berguna oleh orang lain.
Pada
dasarnya tingkah laku negatif bukan merupakan ciri perkembangan remaja yang
normal, akan tetapi itu merupakan mitos yang tidak perlu dipercaya. Remaja yang
berkembang mampu untuk memperlihatkan tingkah laku yang positif, mereka
memiliki kontrol diri yang baik, mampu melakukan penyesuaian diri, dan
melaksanakan tugas-tugas perkembangan dengan baik.
Setiap
periode pada kehidupan manusia memiliki masalahnya sendiri-sendiri, tetapi
masalah pada periode remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi dan
pada masa ini hampir selalu merupakan masa-masa sulit bagi remaja maupun orang
tuanya. Menurut Yudrik Jahja (2011) ada sejumlah alasan mengenai hal diatas:
1.
Remaja
mulai menyampaikan kebebasan dan haknya untuk mengemukakan pendapatnya sendiri.
Tidak terhindarkan, ini dapat menciptakan ketegangan dan perselisihan, dan
dapat menjauhkan ia dari keluarganya.
2.
Remaja
lebih mudah dipengaruhi oleh teman-temannya daripada ketika masih lebih muda.
Ini berarti pengaruh orang tua pun melemah. Anak remaja berperilaku dan
mempunyai kesenangan yang berbeda bahkan bertentangan dengan perilaku dan
kesenangan keluarga.
3.
Remaja
mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhan maupun
seksualitasnya. Perasaan seksual yang mula muncul dapat menakutkan,
membingungkan, dan menjadi sumber perasaan salah dan frustasi.
4.
Remaja
sering menjadi terlalu percaya diri dan ini bersama-sama dengan emosinya yang
biasanya meningkat, mengakibatkan ia sukar menerima nasihat orang tua.
Ada
sejumlah kesulitan-kesulitan yang dialami remaja pada saat perkembangannya.
Menurut Yudrik Jahja (2011)
beberapa kesulitan atau bahaya yang mungkin dialami kaum remaja, antara lain:
1.
Variasi
kondisi kejiwaan, suatu saat mungkin ia terlihat pendiam, cemberut, daan
mengasingkan diri tetapi pada saat yang lain ia terlihat sebaliknya, periang,
berseri-seri, dam yakin. Perilaku yang sukar ditebak dan berubah-ubah ini
bukanlah abnormal. Ini hanya perlu diprihatinkan bila ia terjerumus dalam
kesulitan di sekolah atau dengan teman-temannya.
2.
Rasa
ingin tahu seksual dan coba-coba, hal ini normal dan sehat. Rasa ingin tahu
seksual dan bangkitnya berahi ialah normal dan sehat. Ingat, bahwa perilaku
tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri yang normal pada perkembangan
masa remaja. Rasa ingin tahu seksual dan berahi jelas menimbulkaan
bentuk-bentuk perilaku seksual.
3.
Membolos,
tidak ada gairah atau malas ke sekolah sehingga ia lebih suka membolos masuk
sekolah.
Secara umum masalah yang dialami oleh remaja dapat
diatasi dengan baik jika orang tuanya termasuk orang tua yang “cukup baik”
dalam artian memahami dan mengerti perkembangan anak nya.
C.
Pengertian
Kenakalan Remaja
Menurut
Kartini Kartono (2011) “kenakalan remaja/Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau
kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara
sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian
sosial”.
Menurut
Sudarsono (2012) “juvenile
delinquence sebagai kejahatan anak dapat diinterpretasikan berdampak
negatif secara psikologis terhadap anak yang menjadi pelakunya, apalagi jika
sebutan tersebut secara langsung menjadi semacam trade-mark”. Sedangkan menurut Ary H Gunawan (2010) “juvenile delinquency ialah perbuatan
anak-anak yang melanggar norma sosial, norma hukum, norma kelompok, dan
mengganggu ketentraman masyarakat, sehingga yang berwajib terpaksa mengambil
tindakan pengamanan/penangkalan.
Sudarsono
(2012) juga menjelaskan bahwa “ pada prinsipnya juvenile delinnquency adalah “kejahatan pelanggaran” pada orang
dewasa, akan tetapi menjadi juvenille
delinquency oleh karena pelakunya adalah anak/kaum remaja.
Namun
kiranya kita sependapat bahwa kenakalan remaja sebagai sesuatu yang sifat
kodrati/ natural tidak dapat di bendung/ditiadakan, tetapi hanya sekedar bisa
ditangkal dengan cara-cara/usaha-usaha secara bijak, sehingga tidak berakibat
fatal bagi kehidupan remaja selanjutnya dan merugikan masyarakat banyak.
Kanakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja tidak dapat kita samaratakan,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Koestoer Partowisastro (1983) sebagai
berikut:
Dapat
kita kemukakan bila seseorang membuat sesuatu yang hanya untuk sekedar
memuaskan suatu dorongan dalam jiwanya tanpa ada suatu tujuan lain, perbuatan
anak yang demikian belumlah dapat dianggap suatu perbuatan kejahatan seperti
halnya dimaksudkan oleh kebanyakan orang. Tetapi apabila perbuatan atau
tindakan anak (si remaja), ini sudah mempunyai maksud-maksud atau tujuan
tertentu, umpamanya saja mencuri dengan maksud untuk menjadi mata penghidupannya, maka hal ini dapatlah
dianggap sebagai suatu tindakan kejahatan.
Suatu
perbuatan itu disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan
dengan norma-norma yang berlaku di tengah-tengah di mana ia berada dan
perbuatan tersebut menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat serta bersifat
merugikan.
Berdasarkan
pendapat Freud, pribadi manusia itu terbentuk dari dorongan-dorongan
nafsu-nafsu. Juga dikemukakan olehnya bahwa ada 3 sistem dalam pembentukan
pribadi manusia yang disebut Id, Ego, dan Superego, inilah yang menjadi prinsip
kesenangan yang memiliki fungsi untuk menyalurkan enersi untuk segera
meniadakan ketegangan (menuntut kepuasan).
Menurut
Jensen (dalam Sarlito W. Sarwono 2012) membagi kenakalan remaja menjadi
empat jenis yaitu;
1.
Kenakalan
yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan,
perampokkan, pembunuhan, dan lain-lain.
2.
Kenakalan
yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan,
dan lain-lain.
3.
Kenakalan
sosialyang tidak menimbulkaan korban di pihak orang lain: pelacuran,
penyalahgunaan obat.
4.
Kenakalan
yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan
cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau
membantah perintah mereka, dan sebagainya.
Kenakalan
remaja sebagai problema sosial yang dialami oleh sebagian besar kelompok-kelompok
sosial yang menjadi pusat perhatian masyarakat saat ini sudah semakin
meresahkan dan mengganggu ketentraman masyarakat. Sehingga masyarakat dituntut
secara moral agar mampu mengubah anak-anak delinkuen menjadi anak saleh, paling
tidak mereka dapat dikembalikan dalam kondisi semula.
Menurut
Sudarsono (2012) “juvenile
delinquency tidak dipandang sebagai masalah yang timbul dan menimpa
kelompok umur tertentu, akan tetapi problema sosial yang muncul dari kelompok
kecil sebagai implikasi dari akselerasi perubahan masyarakat secara global”.
Menurut
Kartini Kartono (2011) “anak-anak dalam gang yang delinkuen itu pada
umumnya mempunyai kebiasaan memakai uniform.
Kebanyakan dari gang tersebut adalah kelompok bermain yang lambat laun akan
timbul benturan untuk memperebutkan peranan sosial tertentu”.
Berdasarkan
pendapat Soekanto dan Soerjono (2012) “delinquensi anak-anak yang
terkenal di Indonesia adalah masalah cross
boys dan cross girl yang
merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergaabung dalam suatu
ikatan/organisasi”.
Menurut
Kartini kartono (2011) unsur-unsur yang menyebabkan banyaknya kasus
kenakalan remaja adalah sebagai berikut:
a.
Kekecewaan
hebat karena merasa tidak diterima oleh lingkungannya.
b.
Mengalami
frustasi karena tidak mampu mendapatkan obyek yang diinginkan.
c.
Diliputi
oleh perasaan tidak aman.
Sekarang
dapat kita simpulkan bahwa kenakalan remaja adalah suatu perbuatan yang
melanggar norma-norma di dalam masyarakat dimana ia berada dan bersifat
merugikan. Kenakalan remaja juga merupakan perkembangan dari suatu tindakan
yang sedang menuntut keamanan jiwa dalam bentuk tindakan-tindakan anti sosial.
D.
Gejala-gejala
Kenakalan Remaja
Gejala-gejala
tingkah laku yang ditunjukkan oleh anak yang menjurus atau memperlihatkan pada
perbuatan kenakalan harus dapat dideteksi sedini mungkin, sebab apabila lakunya
telah melewati batas, maka akhirnya tidak mampu lagi menghadapi dirinya sendiri
dalam hidup bermasyarakat yang sehat.
Menurut
Ari H Gunawan (2010) adapun gejala-gejala yang mengarah kepada perbuatan
kenakalan antara lain:
1.
Anak
yang selalu menyendiri karena tidak disukai oleh teman-temannya (terkucilkan)
dapat menderita gangguan emosi, karenanya ia perlu perhatian yang agak khusus
dari orang tua, guru, aatau anggota masyarakat yang mengetahuinya, untuk
menyadarkannya bagaimana bergaul yang sebaiknya dengan menghindarkan sikap
sombong/angkuh, kata-kata yang dapat menyakitkan hati, sinis, menghina, dan
sebagainya.
2.
Anak-anak
yang sering menghindarkan diri dari tanggung jawab dirumah/sekolah. Hal ini
biasanya disebabkan karena anak tidak menyenangi pekerjaan yang ditugaskan
kepadanya, sehingga ia menjauhkan diri dari kesibikan-kesibukan rumah/sekolah,
dan mencari kesibukan lain yang tidak terbimbing dan tidak terawasi.
3.
Anak-anak
yang sering mengeluh/meresah karena mengalami masalah yang tidak terpecahkan
oleh dirinya sendiri, sehingga akibatnya dapat terbawa pada goncangan emosi
yang berlarut-larut.
4.
Anak
yang sering berprasangka bahwa orang tua/guru-guru mereka bersikap tidak baik
terhadapnya dan sengaja menghambat dirinya.
5.
Anak
yang tidak sanggup memusatkan perhatian/pikiran mereka (berkosentrasi), karena
adanya goncangan emosi pada dirinya.
6.
Anak
yang mengalami fobia dan gelisah yang kelewat batas, sehingga berbeda dengan
ketakutan anak-anak normal lainnya.
7.
Anak
yang sering menyakiti dan mengganggu teman-temannya baik dirumah maupun
disekolah.
8.
Anak
yang suka berbohong atau berkata palsu/ menipu.
9.
Anak-anak
yang tidak dihargai usahanya, karena orang dewasa telah menetapkan/meletakkan
tujuan yang terlalu sukar untuk dicapai anak. Akibat kebosanannya mereka lalu
melakukan hal-hal yang berbahaya untuk menarik perhatian orang dewasa. untuk
mengantisipasi hal ini diberikan tugas-tugas yang proporsional (mulai dari yang
mudah-mudah dulu, kemudian agak sukar, sampai yang sukar-sukar. Contohnya,
pemberian soal-soal matematika, jangan langsung memberikan soal yang sangat
sukar).
10.
Anak
yang suka membolos karena malas belajar atau tidak menyukai mata pelajaran
tertentu (perhatikan juga anak-anak pembolos yang menjadi sumber penularan
penyakit membolos).
Gejala-gejala tingkah laku anak yang menjurus pada
kenakalaan harus diupayakan pengentasannya sedini mungkin agar tidak menjurus
pada tingkat kenakalan yang menimbulkan dapak negatif baik bagi pelaku maupun
bagi masyarakat umum.
Gejala-gejala kenakalan ini dapat muncul karena
banyak faktor seperti lingkungan keluarga yang menjemukan dan keluarga yang
kuraang kompak. Oleh karena itu, orang tua harus benar-benar dapat mengenal
tingkah laku anak, apakah tingkah laku anak menunjukkan hal yang negatif atau
tidak.
Pelanggaran hak orang lain di dalam masyarakat
sering dilakukan oleh anak remaja menurut Sudarsono (2012) antara lain:
a.
Delik-delik
yang melanggar haak-hak orang lain yang bersifat kebendaan, seperti pencurian,
penggelapan daan penipuan.
b.
Delik-delik
yang menghilangkan nyawa orang lain, seperti pembunuhan dan penganiayaan yang
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.
c.
Perbuatan-perbuatan
lain yang berupa delik hukum, maupun yang berupa perbuatan anti sosial seperti
gelandangan, pertengkaran, begadang sampai larut malam.
Bagi guru mata pelajaran di Sekolah dianjurkan agar
dapat menyampaikan bahan pelajaran dengan menarik/menyenangkan para siswanya
sehingga selalu disukai, mudah diserap, dan dicerna. Guru harus bisa memilih
metode-metode pengajaran yang memungkinkan semua peserta didik dapat aktif dan
bisa menyalurkan kemampuannya. Pilihan metode-metode pengajaran atau strategi
instruksional yang tepat disertai penguasaan 10 kompetensi profesional guru
Indonesia dengan baik, termasuk memanfaatkan media pendidikan secara
profesional.
E.
Wujud
Perilaku Delinkuen
Perilaku
delinkuen adalah perilaku kriminal, jahat, dursila, tindakan kriminal,
melanggar norma-norma dalam masyarakat yang menimbulkan keonaran atau
mengganggu ketentraman masyarakat sehingga perlu diambil tindakan
pengentasannya.
Wujud
perilaku delinkuen adalah sebagai berikut:
1.
Kebut-kebutan dijalan, yaitu mengendarai
kendaraan dengan kecepatan yang melampaui kecepatan maksimum yang ditetapkan,
sehingga dapat mengganggu/membahayakan pemakai jalan yang lain serta mengganggu
keamanan lalu-lintas.
2.
Peredaran pornografi dan narkotika
dikalangan remaja, peredaran pornografi dalam berbagai bentuk seperti,
gambar-gambar cabul, majalah, dan cerita porno yang dapat merusak moral dan
menurunkan kemampuan berfikir pada anak serta peredaran markotika (obat bius
dan narkoba) yang bergandengan erat dengan perilaku kejahatan.
3.
Tindakan kriminalitas dikalangan remaja,
seperti merampok, mencopet, melakukan pembunuhan karena alasan tertentu,
melakukan perusakan-perusakan terhadap barang-barang atau milik orang lain dan
menimbulkan keresahan pada masyararat.
4.
Pembentukan gang, gang-gang dikalangan
remaja cenderung memiliki ciri/karakteristik tersendiri yang membedakannya
dengan gang yang lainnya, seperti kelompok gang motor, kelompok bertato,
kelompok berpakaian acak-acakan (berpakaian dengan mode yang tidak selaras
dengan lingkungan) dan lain sebagainya.
5.
Perilaku membolos, pada umumnya perilaku
membolos pada pelajar dikarenakan ketidaksukaan terhadap mata pelajaran atau
guru tertentu. Lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi di tempat
terpencil dan mencoba melakukan hal-hal yang mengarah pada perilaku negatif.
6.
Tingkah laku asusila, seperti perkosaan,
anti-sosial, tindakan-tindakan immoral seksual, homoseksualitas dan lain
sebagainya.
Banyak
perbuatan kenakalan remaja yang dianggap sepele oleh orang dewasa sehingga
perilaku tersebut berkembang dan membawa remaja kepada hal-hal yang negatif.
Menurut
Kartini Kartono (2011) menyatakan bahwa:
Dalam
kondisi statis, gejala juvenile delinquency atau kejahatan remaja merupakan
gejala sosial yang sebagiaan dapat diamati serta diukur kuantitas dan kualitas
kedurjanaannya, namun sebagian lagi tidak bisa diamati dan tetap tersembunyi,
hanya bisa dirasakan ekses-eksesnya. Sedang dalam kondisi dinamis, gejala
kenakalan remaja tersebut merupakan gejala yang terus menerus berkembang,
berlangsung secara progresif sejajar dengan perkembangan teknologi,
industrialisasi dan urbanisasi.
Pada
saat masyarakat dunia menjadi semakin maju dan meningkat kesejahteraan materilnya,
kejahatan anak-anak dan remaja juga ikut meningkat. Maka ironisnya, ketika
negara-negara dan bangsa-bangsa menjadi lebih kaya dan makmur, kemudian
kesempatan untuk maju bagi setiap individu menjadi semakin banyak, kejahatan
remaja justru menjadi semakin berkembang dengan pesat, dan ada pertambahan yang
banyak sekali dari kasus-kasus anak-anak yang immoral.
F.
Faktor
Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja
1.
Lingkungan Keluarga
Menurut
Kartini Kartono (2011) “ keluarga merupakan unit sosial terkecil yang
memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak”. Selanjutnya menurut
Sudarsono (2012) “keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk
membesarkan, mendewasakan, dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang
pertama kali”. Sedangkan menurut Gerungan (2009) “keluarga menjadi
kelompok sosial utama tempat anak menjadi manusia sosial. Koestoer
Partowisastro (1983) berpendapat bahwa “keluarga merupakan suatu kelompok
yang terkecil dalam tiap masyarakat dimana anak untuk pertama kalinya mendapat
latihan-latihan yang diperlukan untuk hidupnya kelak dalam masyarakat.
Berdasarkan
pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa keluarga merupakan unit terkecil
dalam masyarakat yang berperan penting dalam proses sosialisasi anak, dalam
keluarga anak mendapat keterampilan-keterampilan dalam bersosialisasi dan
mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya.
Karena pentingnya peran keluarga dalam
proses perkembangan sosial anak, karena itu baik-buruknya struktur dalam
keluarga memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak. Keluarga yang baik
akan memberikan pengaaruh yang positif terhadap perkembangan anak dan
sebaliknya keluarga yang jelek akn memberikan pengeruh negatif. Sejak kecil
anak menghabiskan banyak waktunya di dalam lingkungan keluarga, maka besar
kemungkinan penyebab delinkuen timbul dari keluarga.
Kartini
kartono (2011) berpendapat bahwa:
Banyak remaja
yang ketika di tengah lingkungan keluarga dan kerabat sendiri merasa tidak
berarti, hanyut dan tidak mempunyai status sosial yang bermartabat, merasa
terkungkung dan tidak bisa berkembang, ditengah gangnya anak-anak ini dapat
menemukan kompensasi bagi segala kekurangannya.
Menurut
Ari H Gunawan (2010) “secara fenomenologis tampak bahwa gejala kenakalan
timbul dalam masa pubertas/pancaroba, di mana jiwa dalam keadaan labil,
sehingga mudah terseret oleh lingkungan”.
Menurut
Kartini Kartono (2011) sebagai berikut:
Delinkuensi
yang dilakukan oleh anak-anak, para remaja dan adolesens itu pada umumnya
merupakan produk dari konstitusi defektif
mental orang tua, anggota keluarga dan lingkungan tetangga dekat, ditambah
dengan nafsu primitif dan agresivitas
yang tidak terkendali. Semua itu mempengaruhi mental dan kehidupan perasaan
anak-anak muda yang belum matang dan sangat labil. Dikemudian hari proses ini
berkembang menadi bentuk defektif secara
mental sebagai akibat dari proses pengkondisian oleh lingkungan sosial yang
buruk jahat.
Pada umumnya semua perbuatan kriminal mereka
itu merupakan mekanisme kompensatoris untuk
mendapatkan pengakuan terhadap egonya, disamping dipakai sebagai kompensasi pembalasan terhadap perasaan
minder (kompleks inferior) yang ingin “ditebusnya” dengan tingkah laku “sok”,
“ngejago”, hebat-hebat, aneh-aneh dan kriminal. Lewat semua perbuatan tersebut
mereka ingin tampak menonjol dan dikenal oleh orang banyak.
Pada
umumnya remaja yang melakukan kejahatan adalah remaja yang memiliki
pengontrolan diri rendah, sehingga mereka tidak mampu mengendalikan diri dalam
bertingkah laku. Dalam keluarga anak untuk pertama kalinya mengadakan hubungan
sosial dengan ayah, ibu, dan anggota keluarga lainnya, anak yang tumbuh di
dalam keluarga yang penuh kasih sayang mereka cenderung memiliki sifat-sifat
yang baik dibandingkan dengan anak yang tumbuh di dalam keluarga yang buruk.
Menurut
Kartini Kartono (2011) “delinkuensi yang dilakukan oleh anak-anak, para
remaja, dan adolesens itu pada umumnya merupakan produk dari konstitusi defektif mental orang tua,
anggota keluarga dan lingkungan tetangga dekat”.
Berdasarkan
pendapat umum anak yang dibesarkan dilingkungan keluarga yang melakukan tindak
kriminal atau tindakan asusila akan melahirkan anak yang begitu pula. Pada
hakikatnya kenakalan remaja bukanlah disebabkan faktor herediter, akan tetapi
kegiatan-kegiatan kriminal yang ada di dalam keluarga mengkondisionir serta
mempengaruhi pola tingkah laku anak, sadar atau tidak pola tingkah laku
orang tua yang negatif berpotensi besar untuk mengakibatkan kenakalan remaja.
Menurut
Kartini Kartono (2011) “pola kriminal ayah, ibu, atau salah seorang
anggota keluarga dapat mencetak pola kriminal hampir semua anggota keluarga
lainnya”.
Menurut
Kartini Kartono (2011) sebab terjadinya kenakalan remaja dilingkungan
keluarga antara lain:
a.
Anak
kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntutan pendidikan orang tua,
terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi
permasalahan serta konflik batin sendiri.
b.
Kebutuhan
fisik maupun psikis anak-anak remaja menjadi tidak terpenuhi. Keinginan dan
harapan anak-anak tidak bisa tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan
kompensasinya.
c.
Anak-anak
tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk
hidup susila. Mereka tidak dibiasakan dengan disiplin dan kontrol-diri yang
baik.
Sebagai
akibat dari tiga sebab diatas adalah anak menjadi sedih, malu, merasa tidak
berguna dan muncul perasaan benci baik terhadap oraang lain maupun terhadap
diri sendiri, kemudian mereka mencari tempat yang mereka rasa nyaman di luar
lingkungan keluarga.
Akibat
modernisasi banyak struktur keluarga rusak dan berakibat pada meningkatnya
jumlah kenakalan dan kejahatan anak-anak. Kerusakan pada keluarga dapat berupa
perceraian, tidak harmonisnya hubungan antar anggota keluarga yang berakibat
pada rendahya tingkat komunikasi di dalam keluargadan percekcokan yang terjadi
dalam keluarga. Menurut Koestoer Partowisastro (1983) “anak-anak yang
hidup dalam keluarga yang penuh dengan percekcokan atau pertengkaran dapat
menjadi anak yang bingung (nervous), gugup, tidak tenang, ia merasa tidak aman
dirumah”. Anak-anak seperti itu merasa tidak ada lagi tempat berlindung dan
tempat berpijak sehingga menimbulkan kenakalan-kenakalan yang merupakan bentuk
pelampiasan gejolak batinnya.
Keluarga
tempat anak dilahirkan dan dibesarkan, memegang peranan yang sangat penting
dalam proses pembentukan sebuah karakter/individu. Di kalangan lapisan menengah
dan atas dalam masyarakat perkotaan sering kali pembantu rumah tanggapun sering
memegang peranan penting dalam pembentukan sebuah karakter. Orang tua
(ayah/ibu) sering menyerahkan pemeliharaan anak bahkan pengawasan anak kepada
pembantu. Rumah hanya sebagai tempat persinggahan sementara. Hubungan anak dan
orang tua menjadi tidak harmonis. Orang tua sibuk dengan pekerjaan. Anak
menjadi kehilangan kontrol. Malah anak lebih mempercayai pembantu dari pada
orang tua atau malah lebih mengidolakan orang lain atau kelompok bermainnya.
Padahal, semestinya proses pengenalan dan pematangan diri itu di mulai dari
keluarga.
Menurut
kartini kartono (2011) “bahwa
tingkah laku delinkuen tidak hanya terbatas pada strata sosial bawah dan strata
ekonomi rendah saja; akan tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya di kalangan kelurga berantakan”. Selanjutnya
menurut Koestoer Partowisastro (1998) “ banyak anak yang berasal dari
keluarga baik-baik dan mampu. Sebagian sebab yang mengakibatkan terjadinya
hal-hal itu ternyata dari kelalaian akan peengawasan dan pendidikan yang baik
daari pada orang tua”.
Kesimpulan
yang dapat ditarik mengenai pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja ialah
anak-anak yang memiliki pola-pola kebiasaan delinkuen pada umumnya merupakan
anak-anak yaang berasal dari keluarga yang berantakan/penuh konflik. Anak yang
terlahir dari keluarga yang harmonis/penuh kasih sayang akan manunjukkan
perilaku yang positif, sedangkan anak yang terlahir dari keluarga yang tidak
harmonis akan berperilaku negatif dan memandang dunia penuh dengan rasa
kecurigaan (merasa tidak aman dan nyaman) sehingga mencari tempat yang bersedia
menerima mereka dengan baik diluar lingkungan keluarga, biasanya lingkungan ini
dapat mendorong anak untuk bertingkah laku negatif yang mengarah pada perilaku
delinkuen.
2.
Lingkungan Sekolah
Menurut
Sudarsono (2012) “dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan
yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak remaja”.
Menurut
Ary H Gunawan (2010) sebagai berikut:
Setiap
pendidikan menyiratkan bahwa pendidikan sebagai proses sosialisasi anak dalam
lingkungan sosialnya. Kultur/budaya akademis, kritis dan kreatif, serta sportif
harus terbina dengan baik demi terbentuknya kestabilan emosi sehingga tidak
mudah goncangan dan menimbulkan akses-akses yang mengarah kepada
perbuatan-perbuatan berbahaya serta kenakalan. Menurut penelitian, bila
dibandingkan dengan anak yang tidak nakal, pada umumnya anak nakal tampak
terbelakang dalam pendidikan sekolahnya. Secara kuantitatif anak nakal tercatat
sekitar 18% tak bersekolah, terlambat sekolah sekitar 54%, dan secara
kualitatif anak nakal sering membolos, kurang kesungguahan belajar, lebih
berani mencontek, dan sebagainya. Terdapat keceenderungan yang khas bahwa anak
nakal kurang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dibanding
dengan anak yang tidak nakal. Kebanyakan anak nakal ingin cepat bekerja dan
mendapatkan nafkah.
Menurut
Sudarsono (2012)“dewasa ini sering terjadi perlakuan guru yang tidak
adil, hukuman/sanksi-sanksi yang kurang menunjang tercapainya tujuan
pendidikan, ancaman yang tiada putus-putusnya disertai disiplin yang terlalu
ketat”.
Menurut
Ari H Gunawan (2010) beberapa hal yang dapat dikumpulkan sebagai penyebab
rendahnya minat belajar anak-anak nakal antara lain adalah:
a.
Suka
menyelewengkan waktu belajar untuk kegiatan-kegiatan yang kurang bermanfaat,
seperti begadang, omong kosong, sambil merokok atau minum-minuman keras, sampai
penyalahgunaan narkotika/obat-obatan terlarang, pil koplo, dan sebagainya.
b.
Suka
menunda-nunda waktu belajar.
c.
Suka
membolos atau meninggalkan pelajaran mengakibatkan siswa ketinggalan pelajaran,
atau kehilangan bagian penting dari pelajaran, lebih-lebih bila pelajaran itu
bersifat prerekuisit (misalnya matematika),
maka kerugian-kerugian itu akan semakin menjadi “momok” dari studinya.
d.
Suka
melamun dan kurang berkonsentrasi dalam pelajaran, atau sering mengganggu
teman-temannya selama pelajaran, atau suka membadut dalam kelas untuk menarik
perhatian.
Iklim
kehidupan masyarakat/ sekolah bisa menjadi penyebab langsung terhadap
kecendurungan nakalnya anak. Berbagai kontradiktif nilai yang berkembang di
masyarakat memiliki pengaruh kuat untuk timbulnya kecendurungan nakalnnya anak
yang sedang mencari jati diri.
3.
Lingkungan Masyarakat
Menurut
Sudarsono (2011) anak remaja sebagai anggota masyarakat selalu mendapat
pengaruh dari keadaan masyarakat dan lingkungannya baik langsung maupun tidak
langsung.
Dikalangan
masyarakat banyak sekali terjadi kejahatan seperti: pencurian, pembunuhan,
pelecehan seksual, gelandangan, penganiayaan.
Faktor-faktor penyebab kenakalan remaja
menurut Kartini Kartono (2011), di golongkan dalam 4 (empat) teori, yaitu
:
1.
Teori
Biologis
Tingkah
laku sosiopatik atau kenakalan pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena
faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat cacat
jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung :
a.
Melalui
gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen,
dapat juga di sebakan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa
memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi kenakalan secara
potensial.
b.
Melalui
pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga
membuahkan tingkah laku kenakalan.
c.
Melalui
pewarisan kelemahan konstitutional jasmaniah tertentu yang menimbulkan tigkah
laku yang sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachydac-tylisme (berjari-jari
pendek) dan diabetes inspidus (sejenis penyakit gula) itu erat
berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.
2.
Teori
Psikogenis
Teori
ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delinkuen anak-anak dari aspek
psikologis atau isi kejiwaan. Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian,
motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi internalisasi diri
yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan
psikopatologis.
3.
Teori
Sosiogenis
Para
sosiolog berpendapat penyebab tingkah laku kenakalan pada anak-anak remaja ini
adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya di sebabkan
oleh pengaruh subkultursosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial,
status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor
kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur
lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah masyarakat,
status individu di tengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian-diri
atu konsep-dirinya. Jadi sebab-sebab kenakalan anak remaja itu tidak hanya
terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi terutama
sekali disebabkan oleh konteks kulturnya.
4.
Teori
Subkultur
Subkultur
delinkuen remaja mengaitkan sistem nilai, kepercayaan/keyakinan, ambisi-ambisi
tertentu (misalnya ambisi materil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi
heteroseksual bebas, dll) yang memotivasi timbulnya kelompok-kelopok remaja
brandalan dan kriminal. Sedang perangsangnya bisa berupa: hadiah mendapatkan
status “terhormat” di tengah kelompoknya, prestise sosial, relasi sosial yang
intim, dan hadiah-hadiah materiil lainnya.
Menurut
teori subkultur ini, sumber juvenile delinquency ialah: sifat-sifat suatu
struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan
familial, tetangga dan masyarakat yang didiamioleh para remaja delinkuen
tersebut.
Menurut
Kartini Kartono (2011) adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak
kejahatan dan kedursilaan itu antara lain ialah:
a.
Untuk
memuaskan kecenderungan keserakahan.
b.
Meningkatnya
agresivitas dan dorongan seksual.
c.
Salah-asuh
dan salah-didik orang tua, sehingga anak menjadi manja dan lemah mentalnya.
d.
Hasrat
untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan kesukaan untuk
meniru-niru.
e.
Kecenderungan
pembawaan yang patologis atau abnormal.
f.
Konflik
batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekaanisme pelarian diri sertaa
pembelaan diri yang irrasional.
UPAYA
PENANGGULANGAN MASALAH KENAKALAN REMAJA
A.
Upaya
preventif terhadap kenakalan remaja
Upaya
preventif yakni segala tindakan yang mencegah timbulnya kenakalan-kenakalan.
Soedjono Dirdjosisworo (dalam Sudarsono 2010) mengemukakan, asas umum dala
penanggulangan kejahatan yang banyak dipakai oleh negara-negara maju, asas ini
merupakan gabungan dari dua sistem, yakni:
1.
Cara moralistis, dilaksanakan
dengan penyebarluasan ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-undangan yang
baik dan saran-saran lain yang dapat menekan nafsu untuk berbuat kejahatan.
2.
Cara
abolisionistis,
berusaha memberantas, menanggulangi kejahatan dengan sebab-musababnya,
umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan ekonomi (kemelaratan) merupakan
salah satu penyebab kejahatan, maka usaha untuk mencapai tujuan dalam
mengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan cara
abolisionistis.
Usaha
preventif kenakalan remaja dengan cara moralistis
adalah menitikberatkan pada pembinaan moral dan membina kekuatan mental
anak remaja. Dengan pebinaan moral yang baik anak remaja tidak mudah terjerumus
dalam perbuatan-perbuatan delinkuen. Sebab nilai-nilai moral tadi akan
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan delinkuen.
Usaha
preventif kenakalan remaja dengan cara
aabolisionistis adalah untuk mengurangi, bahkan untuk menghilangkan
sebab-sebab yang mendorong anak remaja melakukan perbuatan-perbuatan delinkuen
dengan bermotif apa saja.
Ari H Gunawan (2010) berpendapat bahwa:
Masalah
“kenakalan anak” (juvenile delinquence)
sering menimbulkan kecemasan sosial karena eksesnya dapat menimbulkan
kemungkinan “gap generation” sebab anak-anak yang diharapkan sebagai
kader-kader penerus serta calon-calon pemimpin bangsa (revitalising agent) banyak tergelincir dalam lumpur kehinaan,
bagaikan kuncup bunga yang berguguraan sebelum mekar menyerbakkan wangi.
Norma-norma hukum yang ada dalam
masyarakat merupakan pedoman dalam bergaul ditengah-tengah masyarakat, sehinga
kepentingan-kepentingan individu yang beranekaragam di dalam masyarakat dapat
di selaraskan satu sama lain. Pada umumnya didalam masyarakat norma hukum lebih
dipathi daripada norma yang lainnya. Demikin pula halnya dengan remaja, mereka
juga lebih mematuhi norma hukum yang berlaku daripada norma-norma lainnya.
Kepatuhan remaja terhadap norma hukum yang berlaku juga memberikan dorongan
yang positif, sehingga para remaja terdorong untuk membina hubungan baik dengan
masyarakat dan memiliki batasan-batasan dalam bertingkah laku dan bertindak.
Menurut Sudarsono (2012)
keterlibatan masyarakat didalam menanggulangi anak delinkuen dapat berupa:
1.
Memberikan
nasihat secara langsung kepada anak yang bersaangkutan agar anak tersebut
meninggalkan kegiatannya yang tidak sesuai dengan seperangkat norma yang
berlaaku, yakni norma hukum, sosial, susila, dan agama.
2.
Membicarakan
dengan orang tua/ wali anak yang bersangkutan dan dicarikan jalan keluaarnya
untuk menyadarkan anak tersebut.
3.
Langkah
yang terajhir, masyarakat harus berani melaporkan kepada pejabat yang berwenang
tentang adanya perbuatan delinkuen sehingga segera dilakukan langkah-langkah
prevensi secara menyeluruh.
Menurut Kartini Kartono (2011)
tindakan preventif yang dilakukan antara lain berupa:
a.
Meningkatkan
kesejahteraan keluarga.
b.
Perbaikan
lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung miskin.
c.
Mendirikan
klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki tingkah laku dan
membantu remaja dari kesulitan mereka.
d.
Menyediakan
tempat rekreasi yang sehat bagi remaja.
e.
Membentuk
badan kesejahteraan anak-anak
f. Dan
lain-lain.
Menurut David
C. Tate, N. Dickon Reppucci, Edward P. Mulvey (1995) sebagai berikut:
Traditionally, the juvenile justice system has emphasized the goals of treatment and rehabilitation of
young offenders, while
protecting them from punishment, retribution, and stigmatization. Violent juvenile offenders have posed a challenge to this rehabilitative ideal
because of mounting public
pressure to ensure societal protection. Juveniles who are perceived as dangerous or persistent in
their criminal activity are
increasingly transferred to the adult criminal justice system, where they may receive much harsher consequences.
Whether violent delinquents can be
successfully treated is a key
point in the debate regarding the wisdom of this trend in juvenile justice.
Menurut
Kartini Kartono (2011) tindakan kuratif bagi usaha penyembuhan anak
delinkuen antara lain berupa:
a.
Menghilangkan
semua sebab-musabab timbulnya kejahatan remaja, baik berupa pribadi familial,
sosial ekonomis dan kultural.
b.
Melakukan
perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan orang tua angkat/asuh yang
memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan jasmani dan rohani yang
sehat anak-anak remaja.
c.
Memindahkan
anak-anak nakal kesekolah yang lebih baik, atau ketengah lingkungan sosial yang
baik.
d.
Memberikan
latihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib dan berdisiplin.
Menurut Sudarsono (2012)
“perbuatan anak-anak muda yang nyata-nyata bersifat melawan hukum dan anti
sosial tersebut pada dasarnya tidak disukai oleh masyarakat, disebut juga
prolem sosial”. Jadi pada dasarnya problem-problem sosial yang muncul sebagai
akibat dari pelanggaran terhadap nilai-nilai sosial dan moral yang menyangkut
tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan merusal.
Sudarsono (2012) dewasa ini
masyarakat sedang dilanda beberapa beberapa prolem sosial antara lain:
a.
Dengan
tingginya kuantitas kelahiran, timbul masalah kependudukan.
b.
Mungkin
karena merosotnya mental, timbul masalah korupsi.
c.
Karena
majunya persenjataan ditunjang dengan kemelut politik, ideologi timbul peperangan.
d.
Barangkali
karena degredasi moral dari individu itu, timbul masalah pelacuran baik
terang-terangan maupun terselubung.
Pada garis
besarnya masalah-masalah sosial yang timbul karena perbuatan-perbuatan anak
remaja dirasakan sangat mengganggu kehiduoan masyarakat baik dikota maupun di
pelosok desa. Akibatnya sangat memilukan, kehidupan masyarakat menjaadi resah,
perasaan tidak aman bahkan sebagian anggota-anggotanya menjadi terasa terancam
hidupnya. Problema tadi pada hakikatnya menjadi tanggung jawab bersama di dalam
kelompok. Hal ini bukan berarti masyarakat harus membenci anak delinkuen atau
mengucilkannya akan tetapi justru sebaliknya. Masyarakat dituntut secara moral
agar mampu mengubah anak-anak delinkuen menjadi anak saleh, paling tidak mereka
dapat dikembalikan dalam kondisi equilibrium.
Jadi,
semua komponen dalam masyarakat harus saling bekerja sama untuk mencegah atau
pun mengatasi kenakalan remaja sehingga dalam masyarakat dapat tercipta suasana
aman dan nyaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Ari
H. Gunawan. 2010. Sosiologi Pendidikan:
Suatu Analisis Sosiologi Tentang Berbagai Problem Pendidikan. Jakarta:
Rineka cipta.
Elida
Prayitno. 2006. Buku Ajar Psikologi
Perkembangan Remaja. Padang : Angkasa Raya.
Gerungan.
2009. Psikologi Sosial. Bandung: PT
Refika Aditama.
Hurlock.
(1996). Psikologi Perkembangan (Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang kehidupan). Terjemahan Istiwidayanti dan
Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Jahja
Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan.
Jakarta: Kencana.
Jersild
Arthur T. (1965). The Psychology of
Adolescence. New York, Amerika: The Macmillan Company.
Kartini
Kartono. 2011. Patologi Sosial 2
Kenakalan Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Kartini
Kartoni. 2011. Patologi Sosial.
Jakarta: Rajawali Pers.
Koestoer
Partowisastro. 1983. Dinamika Psikologi
Sosial. Jakarta: Erlangga.
Mohammad
Ali dan Mohammad Asrori. 2012. Psikologi
Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Sarlito
W. Sarwono. 2012. Psikologi Remaja.
Jakarta: Rajawali Pers.
Soerjono
Soekanto. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudarsono.
2012. Kenakalan Remaja. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Winder
Alvin E. (1968). Adolescence Contemporary
Studies. New York, Amerika: Van Nostrand Reinhold Company.