"ANNISA PERTIWI", "BIMBINGAN DAN KONSELING", "UNP"

Jumat, 13 November 2015

DESENSITISASI DALAM KONSELING



DESENSITISASI DALAM KONSELING

A.    PENGERTIAN DESENSITISASI

            Willis (2010) menjelaskan bahwa teknik ini dikembangkan oleh Wolpe yang mengatakan bahwa semua perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan. Dan bahwa respon terhadap kecemasan dapat dieliminasi dengan menemukan respon yang antagonistik.

            Perangsangan yang menimbulkan kecemasan secara berulang-ulang disepasangkan dengan keadaan relaksasi sehingga hubungan antara perangsangan dengan respon terhadap kecemasan dapat dieliminasi.
Teknik desensitisasi sistematis bermaksud mengajarkan klien untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami klien. Teknik ini tidak dapat berjalan tanpa teknik relaksasi.

            Menurut Taufik dan Yeni Karneli (2011) teknik desensitisasi merupakan salah satu teknik yang sering digunakan dalam terapi tingkah laku. Teknik ini digunakan dalam terapi tingkah laku. Teknik ini digunakan dengan memasukan beberapa teknik, di antaranya memikirkan sesuatu, penenangan diri dan membayangkan sesuatu. Desensitisasi adalah suatu teknik untuk membantu klien mengurangi, menurunkan atau mengumpulkan kepekaan yang berlebihan terhadap suatu perangsang tertentu. Misalnya jijik, takut, cemas yang berlebihan terhadap suasana, keadaan atau benda tertentu.

            Desensitisasi diberikan kepada individu-individu yang mengalami kecemasan menghadapi berbagai situasi, seperti cemas, takut menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan neurotik, takut melihat darah, naik pesawat terbang dan sebagainya. Kecemasan dan ketakutan yang dialami oleh individu mendatangkan banyak kesulitan dalam bertingkah laku yang wajar pada situasi tertentu. Misalnya klien takut menghadapi ujian, menjadi gemetar, gugup dan keluar keringat dingin saat memasuki ruangan ujian. Keadaan ini jelas mendatangkan kesulitan pada klien untuk menjawab ujian dengan baik. Dengan diberikan desensitisasi kepada klien ini, maka diharapkan ia dapat mengikuti ujian secara wajar.

            Untuk menghilangkan kecemasan-kecemasan yang neurotik tersebut klien dilatih secara santai mengasosiasikan keadaan dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayarkan atau divisualisasikan. Situasi-situasi dihadirkan dalam sutau rangkaian yang sangat tidak “mengancam” kepada yang sangat “mengancam”. Tingkatan stimulus penyebab kecemaasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus penghasil keadaan santai sampai penghasil kecemasan dan respon kecemasan itu terhapus.

            Ukuran kecemasan atau ketakutan yang dialami individu sehingga teknik ini perlu digunakan adalah ketakutan atau kecemasan itu tidak wajar sehingga respon klien terhadap sesuatu juga tidak wajar, dan ketakutan atau kecemasan itu mengganggu setelah konselor mengetahui stimulus atau pengalaman belajar yang menyebabkan klien menjadi takut atau cemas yang tidak wajar terhadap sesuatu.

            Menurut Munro (Alih bahasa oleh Erman Amti, 1983) pendekatan ini dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan sesuatu. Dalam hal ini penyuluh berusaha memberikan “suntikan” bagi klien untuk menanggulagi ketakutan ataupun kebimbingan yang mendalam dalam suasana tertentu. Penyuluh melakukan teknik ini dengan memanfaatkan ketenangan jasmaniah klien untuk melawan ketegangan jasmaniah yang timbul bila klien berada pada suasana yang menakutkan atau menegangkan.

            Didalam konseling itu klien diajar untuk santai dan menghubungkan keadaan santai itu dengan membayangkan pengalaman-pengalaman yang mencemaskan, menggusarkan atau mengecewakan. Situasi yang dihadirkan disusun secara sistematis dari yang kurang mencemaskan hingga yang paling mencemaskan.

B.     PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN DALAM MENERAPKAN DESENSITISASI

            Menurut Munro (Alih bahasa oleh Erman Amti, 1983) dalam proses ini ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dan ada beberapa tahap yang perlu dilalu, yaitu sebagai berikut:

1.      Teknik desensitisasi sebaiknya digunakan bagi klien yang merasa takut terhadap satu hal tertentu saja, seperti takut menghadapi ujian, takut naik pesawat terbang, takut melihat darah, dan sebagainya.

2.      Sebelum memulai, klien harus diberi penjelasan secara tuntas tentang proses desensitisasi itu. Proses pengubahan tingkah laku itu tidak mungkin berhasil jika klien sendiri tidak yakin bahwa ketakutan itu merupakan hasil belajar dan cara menghilangkannya pun dapat melalui proses belajar. Klien hendaknya diyakinkan bahwa teknik desensitisasi akan memberikan hasil yang cukup baik.

3.      Terlebih dahulu klien harus berada dalam keadaan yang benar-benar tenang. Ketenangan ini dapat terjadi melalui latihan yang diatur oleh penyuluh atau atas kesukarelaan klien sendiri.

4.      Selanjutnya peyuluh dan klien bersama-sama menyusun suatu daftar kejadian-kejadian yang berhubungan dengan ketakutan itu. Kejadian-kejadian ini kemudian diurutkan muali dari yang kurang menakutkan sampai kepada yang paling menakutkan. Hal yang kurang menakutkan biasanya adalah kejadian-kejadian yang paling jarang diumpai dan tidak begitu besar pengaruhnya terhadap keluhan utama klien.
5.      Dalam tingkat berikutnya penyuluh terlebih dahulu membantu klien mencapai suatu keadaan benar-benar tenang secara jasmaniah.

6.      Dengan demikian klien bersama penyuluh menangani kejadian-kejadian itu secara bertahap. Penyuluh mendorong klien untuk menerapkan hal-hal yang dilatihkan itu di dalam kehidupannya, dan melakukan hal-hal yang perlu untuk menolong diri sendiri bilamana ketegangan atau kebingungan terjadi (misalnya melalui bernafas dalam-dalam, penenangan sebagian, menghentikan pemikiran yang sedang berlangsung.

C.    LANGKAH-LANGKAH DESENSITISASI

            Menurut Taufik dan Yeni Karneli (2011) langkah-langkah pelaksanaan teknik desensitisasi ini adalah sebagai berikut:

1.      Menjelaskan kepada klien perlunya teknik desensitisasi dilakukan. Penjelasan meliputi pentingnya teknik desensitisasi dilakukan pada klien dan penjelasan tentang pengertian, tujuan, prosedur dan cara desensitisasi dilaksanakan.

2.      Bersama klien konselor membuat daftar urut jenjang ketakutan atau kecemasan. Urut jenjang ketakutan atau kecemasan disusun dari yang paling tidak ditakuti sampai pada peristiwa yang paling ditakuti. Kata-kata yang digunakan hendaknya adalah kata kerja yang positif.

Contoh:
a.       Mendengarkan kata darah
b.      Melihat gambar orang luka
c.       Melihat darah

3.      Latihan penenangan sederhana, sehingga klien berada dalam keadaan santai.
4.      Melaksanakan desensitisasi urut jenjang tingkat kecemasan yang pertama.

5.      Mengedakan evaluasi berkenaan dengan perasaan ketakutan klien dan tindak lanjut.
            Untuk mengetahui kesan dan perasaan klien tentang latihan yang baru saja dilakukan, perlu dilakukan evaluasi dengan cara bertanya pada klien tentang kesan dan perasaan setelah dilakukan latihan. Apabila klien sudah dapat menerima stimulus yang diberikan pada latihan secara wajar, maka dapat dilakukan tindak lanjut dengan latihan untuk urut jenjang ketakutan berikutnya. Tetapi bila klien belum dapat menerima stimulus yang dilatihkan secara wajar, maka latihan diulangi lagi sampai klien benar-benar bisa menerima perangsang tersebut secara wajar. Apabila sudah demikian latihan dapat dilanjutkan pada langkah berikutnya. Begitulah seterusnya, sampai semua urut jenjang kejadian yang disusun dapat diterima dengan wajar. Bila klien sudah dapat menerima perangsang secara wajar, maka latihan dapat diakhiri.

KEPUSTAKAAN
Munro (Alih bahasa oleh Erman Amti). 1983. Penyuluhan (Counseling). Yogyakarta: Ghalia Indonesia.
Taufik dan Yeni Karneli. 2011. Prosedur dan Teknik Konseling Perorangan. Padang: BK-UNP.
Willis, Sofyan.S. 2010. Konseling Individual. Bandung: Alfabeta.

Minggu, 26 April 2015

MAKALAH KENAKALAN REMAJA DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA




HAKIKAT KENAKALAN REMAJA
  A.    Pengertian Kenakalan
            Suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma yang ada di masyarakat di mana ia berada dan merupakan suatu perbuatan anti sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.
            Menurut kamus besar bahasa Indonesia, “kenakalan dengan kata dasar nakal adalah suka berbuat tidak baik, suka mengganggu, dan suka tidak menurut”( http://eprints.ung.ac.id/4398/9/2012-1-86201-111410201-bab2-28082012055913. pdf). Selanjutnya menurut Kartini Kartono (2011) “ delinquent berasal dari kata Latin ‘delinquere’ yang berarti: terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain”. Delinkuen selalu memiliki konotasi yang negatif seperti pelanggaran, kejahaatan, penyimpangan yang dilakukan oleh anak-anak muda dibawah usia 22 tahun.
        Ari H Gunawan (2010 : 89) berpendapat bahwa:
Istilah kenakalan berasal dari kata dasar “nakal” (bahasa Jawa), yang istilah nominal/harfiah muncul dari kata “anak nakal” artinya “ada akal atau timbul akalnya”. Seorang anak kecil yaang mulai timbul akal/pikirannya memiliki semangat ingin tahu yang besar untuk menirukan, misalnya ikut mengambilgelas atau piring dari atas meja, tetapi karena kurang kemampuannya dan belum terpikirkan akibat-akibatnya ia dapat menjatuhkan gelas/piring yang diraihnya tersebut hingga pecah berantakan akibat hal yang tak terfikirkan tersebut ia bisa kena marah karenaa dianggap melanggar norma sosial (memecahkan, merugikan), bahkan kadang-kadang terpaksa dicubit oleh ibunya dan bila berulang kali dilakukan ia akan mendapat predikat “anak nakal”.
            Menurut sudarsono (2012) “kenakalan bukan hanya merupakan perbuatan anak yang melawan hukum semata akan tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar norma masyarakat”. Dengan demikian masalah-masalah sosial yang timbul karena perbuatan remaja dirasakan sangat mengganggu, dan merisaukan kehidupan masyarakat, bahkan sebagian anggota masyarakat menjadi terancam hidupnya.
            Menurut Kartini Kartono (2011) sebagai berikut:
Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat. Melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercaakup dalam undang-undang, maupun yang belum tercantum dalam undang-undang pidana).
            Menurut Kartini Kartono (2011) “anak-anak muda yang delinkuen atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat secara sosial”. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat.
            Pada dasarnya perilaku delinkuen tidak disukai oleh masyarakat dan banyak menimbulkan reaksi kejengkelan dan kemarahan dikalangan masyarakat. Perilaku delinkuen ini terjadi karena seseorang memiliki kontrol-diri yang rendah sehingga mudah untuk melakukan perbuatan-perbuatan negatif. Anak-anak delinkuen melakukan kejahatan karena didorong oleh konflik batin sendiri lewat tingkah laku agresif, implusif, dan primitif.
  B.     Pengertian Remaja
            Masa remaja merupakan salah satu periode dalam rentangan kehidupan manusia, periode di mana individu meninggalkan masa anak-anaknya dan mulai memasuki masa dewasa. Pada periode ini remaja tidak memiliki tempat yang jelas karena mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa, remaja berada diantara periode anak-anak dan pada periode dewasa sehingga terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan.
            Menurut Arthur T. Jersild (1965) sebagai berikut:
Adolescents are in transitional phase of development, but this does not make them unique. in every period of development from birth on ward a person is moving from one stage to the next along life's way. there are, however, some aspects of adolescence that makes it different from other phases of growth.
            Menurut Hurlock (1998) “masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah”. Sedangkan menurut Papalia dan Olds (dalam Yudrik Jahja, 2011) “masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umunya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun”. Selanjutnya menurut pendapat Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2012) “fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik”.
            Menurut Elida Prayitno (2006) “remaja dapat dikatakan sebagai individu yang telah mengalami masa balig atau telah berfungsinya hormon reproduksi sehingga wanita mengalami menstruasi dan pria mimpi basah”. Menurut Alvin E. Winder dan David L. Angus (1968) “adolescence is the process of becoming adult, growing into maturity”.
            Pada umumnya remaja menuntut dan menginginkan kebebasan dari orang dewasa lainnya dalam bertindak, akan tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk mengatasi setiap permasalahan tersebut.
            Banyak anggapan negatif yang muncul pada masa remaja seperti munculnya tingkah laku yang negatif, periode badai, suka melawan, bermasalah dengan proses penyesuaian diri, tidak stabil, menuntut kebebasan dan berbagai label buruk lainnya. Orang dewasa sering kali memandang remaja sebagai anak yang tidak rapih, tidak dapat diberikan kebebasan, tidak dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak. Sehingga orang dewasa harus senantiasa membimbing dan mengawasi mereka.
            Anggapan-anggapan dan label-label negatif tentang remaja mempengaruhi konsep dirinya, jika mereka selalu disebut sebaagai anak yang malas, mengganggu orang lain, tidak sopan dan label buruk lainnya, maka akibatnya mereka berpendapat bahwa diri mereka tidaak diinginkan dan tidak berguna oleh orang lain.
            Pada dasarnya tingkah laku negatif bukan merupakan ciri perkembangan remaja yang normal, akan tetapi itu merupakan mitos yang tidak perlu dipercaya. Remaja yang berkembang mampu untuk memperlihatkan tingkah laku yang positif, mereka memiliki kontrol diri yang baik, mampu melakukan penyesuaian diri, dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan dengan baik.
            Setiap periode pada kehidupan manusia memiliki masalahnya sendiri-sendiri, tetapi masalah pada periode remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi dan pada masa ini hampir selalu merupakan masa-masa sulit bagi remaja maupun orang tuanya. Menurut  Yudrik Jahja (2011) ada sejumlah alasan mengenai hal diatas:
1.    Remaja mulai menyampaikan kebebasan dan haknya untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Tidak terhindarkan, ini dapat menciptakan ketegangan dan perselisihan, dan dapat menjauhkan ia dari keluarganya.
2.    Remaja lebih mudah dipengaruhi oleh teman-temannya daripada ketika masih lebih muda. Ini berarti pengaruh orang tua pun melemah. Anak remaja berperilaku dan mempunyai kesenangan yang berbeda bahkan bertentangan dengan perilaku dan kesenangan keluarga.
3.    Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhan maupun seksualitasnya. Perasaan seksual yang mula muncul dapat menakutkan, membingungkan, dan menjadi sumber perasaan salah dan frustasi.
4.    Remaja sering menjadi terlalu percaya diri dan ini bersama-sama dengan emosinya yang biasanya meningkat, mengakibatkan ia sukar menerima nasihat orang tua.
            Ada sejumlah kesulitan-kesulitan yang dialami remaja pada saat perkembangannya. Menurut  Yudrik Jahja (2011) beberapa kesulitan atau bahaya yang mungkin dialami kaum remaja, antara lain:
1.      Variasi kondisi kejiwaan, suatu saat mungkin ia terlihat pendiam, cemberut, daan mengasingkan diri tetapi pada saat yang lain ia terlihat sebaliknya, periang, berseri-seri, dam yakin. Perilaku yang sukar ditebak dan berubah-ubah ini bukanlah abnormal. Ini hanya perlu diprihatinkan bila ia terjerumus dalam kesulitan di sekolah atau dengan teman-temannya.
2.      Rasa ingin tahu seksual dan coba-coba, hal ini normal dan sehat. Rasa ingin tahu seksual dan bangkitnya berahi ialah normal dan sehat. Ingat, bahwa perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri yang normal pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu seksual dan berahi jelas menimbulkaan bentuk-bentuk perilaku seksual.
3.      Membolos, tidak ada gairah atau malas ke sekolah sehingga ia lebih suka membolos masuk sekolah.
Secara umum masalah yang dialami oleh remaja dapat diatasi dengan baik jika orang tuanya termasuk orang tua yang “cukup baik” dalam artian memahami dan mengerti perkembangan anak nya.
  C.    Pengertian Kenakalan Remaja
            Menurut Kartini Kartono (2011) “kenakalan remaja/Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial”.
            Menurut Sudarsono (2012) “juvenile delinquence sebagai kejahatan anak dapat diinterpretasikan berdampak negatif secara psikologis terhadap anak yang menjadi pelakunya, apalagi jika sebutan tersebut secara langsung menjadi semacam trade-mark”. Sedangkan menurut Ary H Gunawan (2010) “juvenile delinquency ialah perbuatan anak-anak yang melanggar norma sosial, norma hukum, norma kelompok, dan mengganggu ketentraman masyarakat, sehingga yang berwajib terpaksa mengambil tindakan pengamanan/penangkalan.
            Sudarsono (2012) juga menjelaskan bahwa “ pada prinsipnya juvenile delinnquency adalah “kejahatan pelanggaran” pada orang dewasa, akan tetapi menjadi juvenille delinquency oleh karena pelakunya adalah anak/kaum remaja.
            Namun kiranya kita sependapat bahwa kenakalan remaja sebagai sesuatu yang sifat kodrati/ natural tidak dapat di bendung/ditiadakan, tetapi hanya sekedar bisa ditangkal dengan cara-cara/usaha-usaha secara bijak, sehingga tidak berakibat fatal bagi kehidupan remaja selanjutnya dan merugikan masyarakat banyak. Kanakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja tidak dapat kita samaratakan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Koestoer Partowisastro (1983) sebagai berikut:
            Dapat kita kemukakan bila seseorang membuat sesuatu yang hanya untuk sekedar memuaskan suatu dorongan dalam jiwanya tanpa ada suatu tujuan lain, perbuatan anak yang demikian belumlah dapat dianggap suatu perbuatan kejahatan seperti halnya dimaksudkan oleh kebanyakan orang. Tetapi apabila perbuatan atau tindakan anak (si remaja), ini sudah mempunyai maksud-maksud atau tujuan tertentu, umpamanya saja mencuri dengan maksud untuk menjadi  mata penghidupannya, maka hal ini dapatlah dianggap sebagai suatu tindakan kejahatan.
            Suatu perbuatan itu disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di tengah-tengah di mana ia berada dan perbuatan tersebut menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat serta bersifat merugikan.
            Berdasarkan pendapat Freud, pribadi manusia itu terbentuk dari dorongan-dorongan nafsu-nafsu. Juga dikemukakan olehnya bahwa ada 3 sistem dalam pembentukan pribadi manusia yang disebut Id, Ego, dan Superego, inilah yang menjadi prinsip kesenangan yang memiliki fungsi untuk menyalurkan enersi untuk segera meniadakan ketegangan (menuntut kepuasan).
            Menurut Jensen (dalam Sarlito W. Sarwono 2012) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis yaitu;
1.   Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokkan, pembunuhan, dan lain-lain.
2.   Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
3.   Kenakalan sosialyang tidak menimbulkaan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat.
4.   Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka, dan sebagainya.
            Kenakalan remaja sebagai problema sosial yang dialami oleh sebagian besar kelompok-kelompok sosial yang menjadi pusat perhatian masyarakat saat ini sudah semakin meresahkan dan mengganggu ketentraman masyarakat. Sehingga masyarakat dituntut secara moral agar mampu mengubah anak-anak delinkuen menjadi anak saleh, paling tidak mereka dapat dikembalikan dalam kondisi semula.
            Menurut Sudarsono (2012) “juvenile delinquency tidak dipandang sebagai masalah yang timbul dan menimpa kelompok umur tertentu, akan tetapi problema sosial yang muncul dari kelompok kecil sebagai implikasi dari akselerasi perubahan masyarakat secara global”.
            Menurut Kartini Kartono (2011) “anak-anak dalam gang yang delinkuen itu pada umumnya mempunyai kebiasaan memakai uniform. Kebanyakan dari gang tersebut adalah kelompok bermain yang lambat laun akan timbul benturan untuk memperebutkan peranan sosial tertentu”.
            Berdasarkan pendapat Soekanto dan Soerjono (2012) “delinquensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah cross boys dan cross girl yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergaabung dalam suatu ikatan/organisasi”.
            Menurut Kartini kartono (2011) unsur-unsur yang menyebabkan banyaknya kasus kenakalan remaja adalah sebagai berikut:
a.      Kekecewaan hebat karena merasa tidak diterima oleh lingkungannya.
b.      Mengalami frustasi karena tidak mampu mendapatkan obyek yang diinginkan.
c.       Diliputi oleh perasaan tidak aman.
            Sekarang dapat kita simpulkan bahwa kenakalan remaja adalah suatu perbuatan yang melanggar norma-norma di dalam masyarakat dimana ia berada dan bersifat merugikan. Kenakalan remaja juga merupakan perkembangan dari suatu tindakan yang sedang menuntut keamanan jiwa dalam bentuk tindakan-tindakan anti sosial.    
   D.    Gejala-gejala Kenakalan Remaja
            Gejala-gejala tingkah laku yang ditunjukkan oleh anak yang menjurus atau memperlihatkan pada perbuatan kenakalan harus dapat dideteksi sedini mungkin, sebab apabila lakunya telah melewati batas, maka akhirnya tidak mampu lagi menghadapi dirinya sendiri dalam hidup bermasyarakat yang sehat.
            Menurut Ari H Gunawan (2010) adapun gejala-gejala yang mengarah kepada perbuatan kenakalan antara lain:
1.        Anak yang selalu menyendiri karena tidak disukai oleh teman-temannya (terkucilkan) dapat menderita gangguan emosi, karenanya ia perlu perhatian yang agak khusus dari orang tua, guru, aatau anggota masyarakat yang mengetahuinya, untuk menyadarkannya bagaimana bergaul yang sebaiknya dengan menghindarkan sikap sombong/angkuh, kata-kata yang dapat menyakitkan hati, sinis, menghina, dan sebagainya.
2.        Anak-anak yang sering menghindarkan diri dari tanggung jawab dirumah/sekolah. Hal ini biasanya disebabkan karena anak tidak menyenangi pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, sehingga ia menjauhkan diri dari kesibikan-kesibukan rumah/sekolah, dan mencari kesibukan lain yang tidak terbimbing dan tidak terawasi.
3.        Anak-anak yang sering mengeluh/meresah karena mengalami masalah yang tidak terpecahkan oleh dirinya sendiri, sehingga akibatnya dapat terbawa pada goncangan emosi yang berlarut-larut.
4.        Anak yang sering berprasangka bahwa orang tua/guru-guru mereka bersikap tidak baik terhadapnya dan sengaja menghambat dirinya.
5.        Anak yang tidak sanggup memusatkan perhatian/pikiran mereka (berkosentrasi), karena adanya goncangan emosi pada dirinya.
6.        Anak yang mengalami fobia dan gelisah yang kelewat batas, sehingga berbeda dengan ketakutan anak-anak normal lainnya.
7.        Anak yang sering menyakiti dan mengganggu teman-temannya baik dirumah maupun disekolah.
8.        Anak yang suka berbohong atau berkata palsu/ menipu.
9.        Anak-anak yang tidak dihargai usahanya, karena orang dewasa telah menetapkan/meletakkan tujuan yang terlalu sukar untuk dicapai anak. Akibat kebosanannya mereka lalu melakukan hal-hal yang berbahaya untuk menarik perhatian orang dewasa. untuk mengantisipasi hal ini diberikan tugas-tugas yang proporsional (mulai dari yang mudah-mudah dulu, kemudian agak sukar, sampai yang sukar-sukar. Contohnya, pemberian soal-soal matematika, jangan langsung memberikan soal yang sangat sukar).
10.    Anak yang suka membolos karena malas belajar atau tidak menyukai mata pelajaran tertentu (perhatikan juga anak-anak pembolos yang menjadi sumber penularan penyakit membolos).
Gejala-gejala tingkah laku anak yang menjurus pada kenakalaan harus diupayakan pengentasannya sedini mungkin agar tidak menjurus pada tingkat kenakalan yang menimbulkan dapak negatif baik bagi pelaku maupun bagi masyarakat umum.
Gejala-gejala kenakalan ini dapat muncul karena banyak faktor seperti lingkungan keluarga yang menjemukan dan keluarga yang kuraang kompak. Oleh karena itu, orang tua harus benar-benar dapat mengenal tingkah laku anak, apakah tingkah laku anak menunjukkan hal yang negatif atau tidak.
Pelanggaran hak orang lain di dalam masyarakat sering dilakukan oleh anak remaja menurut Sudarsono (2012) antara lain:
a.      Delik-delik yang melanggar haak-hak orang lain yang bersifat kebendaan, seperti pencurian, penggelapan daan penipuan.
b.      Delik-delik yang menghilangkan nyawa orang lain, seperti pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.
c.      Perbuatan-perbuatan lain yang berupa delik hukum, maupun yang berupa perbuatan anti sosial seperti gelandangan, pertengkaran, begadang sampai larut malam.
Bagi guru mata pelajaran di Sekolah dianjurkan agar dapat menyampaikan bahan pelajaran dengan menarik/menyenangkan para siswanya sehingga selalu disukai, mudah diserap, dan dicerna. Guru harus bisa memilih metode-metode pengajaran yang memungkinkan semua peserta didik dapat aktif dan bisa menyalurkan kemampuannya. Pilihan metode-metode pengajaran atau strategi instruksional yang tepat disertai penguasaan 10 kompetensi profesional guru Indonesia dengan baik, termasuk memanfaatkan media pendidikan secara profesional.
   E.     Wujud Perilaku Delinkuen
            Perilaku delinkuen adalah perilaku kriminal, jahat, dursila, tindakan kriminal, melanggar norma-norma dalam masyarakat yang menimbulkan keonaran atau mengganggu ketentraman masyarakat sehingga perlu diambil tindakan pengentasannya.
            Wujud perilaku delinkuen adalah sebagai berikut:
1.      Kebut-kebutan dijalan, yaitu mengendarai kendaraan dengan kecepatan yang melampaui kecepatan maksimum yang ditetapkan, sehingga dapat mengganggu/membahayakan pemakai jalan yang lain serta mengganggu keamanan lalu-lintas.
2.      Peredaran pornografi dan narkotika dikalangan remaja, peredaran pornografi dalam berbagai bentuk seperti, gambar-gambar cabul, majalah, dan cerita porno yang dapat merusak moral dan menurunkan kemampuan berfikir pada anak serta peredaran markotika (obat bius dan narkoba) yang bergandengan erat dengan perilaku kejahatan.
3.      Tindakan kriminalitas dikalangan remaja, seperti merampok, mencopet, melakukan pembunuhan karena alasan tertentu, melakukan perusakan-perusakan terhadap barang-barang atau milik orang lain dan menimbulkan keresahan pada masyararat.
4.      Pembentukan gang, gang-gang dikalangan remaja cenderung memiliki ciri/karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan gang yang lainnya, seperti kelompok gang motor, kelompok bertato, kelompok berpakaian acak-acakan (berpakaian dengan mode yang tidak selaras dengan lingkungan) dan lain sebagainya.
5.      Perilaku membolos, pada umumnya perilaku membolos pada pelajar dikarenakan ketidaksukaan terhadap mata pelajaran atau guru tertentu. Lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi di tempat terpencil dan mencoba melakukan hal-hal yang mengarah pada perilaku negatif.
6.      Tingkah laku asusila, seperti perkosaan, anti-sosial, tindakan-tindakan immoral seksual, homoseksualitas dan lain sebagainya.
            Banyak perbuatan kenakalan remaja yang dianggap sepele oleh orang dewasa sehingga perilaku tersebut berkembang dan membawa remaja kepada hal-hal yang negatif.
            Menurut Kartini Kartono (2011) menyatakan bahwa:
Dalam kondisi statis, gejala juvenile delinquency atau kejahatan remaja merupakan gejala sosial yang sebagiaan dapat diamati serta diukur kuantitas dan kualitas kedurjanaannya, namun sebagian lagi tidak bisa diamati dan tetap tersembunyi, hanya bisa dirasakan ekses-eksesnya. Sedang dalam kondisi dinamis, gejala kenakalan remaja tersebut merupakan gejala yang terus menerus berkembang, berlangsung secara progresif sejajar dengan perkembangan teknologi, industrialisasi dan urbanisasi.
Pada saat masyarakat dunia menjadi semakin maju dan meningkat kesejahteraan materilnya, kejahatan anak-anak dan remaja juga ikut meningkat. Maka ironisnya, ketika negara-negara dan bangsa-bangsa menjadi lebih kaya dan makmur, kemudian kesempatan untuk maju bagi setiap individu menjadi semakin banyak, kejahatan remaja justru menjadi semakin berkembang dengan pesat, dan ada pertambahan yang banyak sekali dari kasus-kasus anak-anak yang immoral.
  F.     Faktor Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja
1.      Lingkungan Keluarga
      Menurut Kartini Kartono (2011) “ keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak”. Selanjutnya menurut Sudarsono (2012) “keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan, dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali”. Sedangkan menurut Gerungan (2009) “keluarga menjadi kelompok sosial utama tempat anak menjadi manusia sosial. Koestoer Partowisastro (1983) berpendapat bahwa “keluarga merupakan suatu kelompok yang terkecil dalam tiap masyarakat dimana anak untuk pertama kalinya mendapat latihan-latihan yang diperlukan untuk hidupnya kelak dalam masyarakat.
      Berdasarkan pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang berperan penting dalam proses sosialisasi anak, dalam keluarga anak mendapat keterampilan-keterampilan dalam bersosialisasi dan mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya.
      Karena pentingnya peran keluarga dalam proses perkembangan sosial anak, karena itu baik-buruknya struktur dalam keluarga memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak. Keluarga yang baik akan memberikan pengaaruh yang positif terhadap perkembangan anak dan sebaliknya keluarga yang jelek akn memberikan pengeruh negatif. Sejak kecil anak menghabiskan banyak waktunya di dalam lingkungan keluarga, maka besar kemungkinan penyebab delinkuen timbul dari keluarga.
      Kartini kartono (2011) berpendapat bahwa:
Banyak remaja yang ketika di tengah lingkungan keluarga dan kerabat sendiri merasa tidak berarti, hanyut dan tidak mempunyai status sosial yang bermartabat, merasa terkungkung dan tidak bisa berkembang, ditengah gangnya anak-anak ini dapat menemukan kompensasi bagi segala kekurangannya.
      Menurut Ari H Gunawan (2010) “secara fenomenologis tampak bahwa gejala kenakalan timbul dalam masa pubertas/pancaroba, di mana jiwa dalam keadaan labil, sehingga mudah terseret oleh lingkungan”.
      Menurut Kartini Kartono (2011) sebagai berikut:
            Delinkuensi yang dilakukan oleh anak-anak, para remaja dan adolesens itu pada umumnya merupakan produk dari konstitusi defektif mental orang tua, anggota keluarga dan lingkungan tetangga dekat, ditambah dengan nafsu primitif dan agresivitas yang tidak terkendali. Semua itu mempengaruhi mental dan kehidupan perasaan anak-anak muda yang belum matang dan sangat labil. Dikemudian hari proses ini berkembang menadi bentuk defektif secara mental sebagai akibat dari proses pengkondisian oleh lingkungan sosial yang buruk jahat.
 Pada umumnya semua perbuatan kriminal mereka itu merupakan mekanisme kompensatoris untuk mendapatkan pengakuan terhadap egonya, disamping dipakai sebagai kompensasi pembalasan terhadap perasaan minder (kompleks inferior) yang ingin “ditebusnya” dengan tingkah laku “sok”, “ngejago”, hebat-hebat, aneh-aneh dan kriminal. Lewat semua perbuatan tersebut mereka ingin tampak menonjol dan dikenal oleh orang banyak.
      Pada umumnya remaja yang melakukan kejahatan adalah remaja yang memiliki pengontrolan diri rendah, sehingga mereka tidak mampu mengendalikan diri dalam bertingkah laku. Dalam keluarga anak untuk pertama kalinya mengadakan hubungan sosial dengan ayah, ibu, dan anggota keluarga lainnya, anak yang tumbuh di dalam keluarga yang penuh kasih sayang mereka cenderung memiliki sifat-sifat yang baik dibandingkan dengan anak yang tumbuh di dalam keluarga yang buruk.
      Menurut Kartini Kartono (2011) “delinkuensi yang dilakukan oleh anak-anak, para remaja, dan adolesens itu pada umumnya merupakan produk dari konstitusi defektif mental orang tua, anggota keluarga dan lingkungan tetangga dekat”.
      Berdasarkan pendapat umum anak yang dibesarkan dilingkungan keluarga yang melakukan tindak kriminal atau tindakan asusila akan melahirkan anak yang begitu pula. Pada hakikatnya kenakalan remaja bukanlah disebabkan faktor herediter, akan tetapi kegiatan-kegiatan kriminal yang ada di dalam keluarga mengkondisionir serta mempengaruhi pola tingkah laku anak, sadar atau tidak pola tingkah laku orang tua yang negatif berpotensi besar untuk mengakibatkan kenakalan remaja.
      Menurut Kartini Kartono (2011) “pola kriminal ayah, ibu, atau salah seorang anggota keluarga dapat mencetak pola kriminal hampir semua anggota keluarga lainnya”.
      Menurut Kartini Kartono (2011) sebab terjadinya kenakalan remaja dilingkungan keluarga antara lain:
a.    Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin sendiri.
b.   Kebutuhan fisik maupun psikis anak-anak remaja menjadi tidak terpenuhi. Keinginan dan harapan anak-anak tidak bisa tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.
c.    Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan dengan disiplin dan kontrol-diri yang baik.
      Sebagai akibat dari tiga sebab diatas adalah anak menjadi sedih, malu, merasa tidak berguna dan muncul perasaan benci baik terhadap oraang lain maupun terhadap diri sendiri, kemudian mereka mencari tempat yang mereka rasa nyaman di luar lingkungan keluarga.
      Akibat modernisasi banyak struktur keluarga rusak dan berakibat pada meningkatnya jumlah kenakalan dan kejahatan anak-anak. Kerusakan pada keluarga dapat berupa perceraian, tidak harmonisnya hubungan antar anggota keluarga yang berakibat pada rendahya tingkat komunikasi di dalam keluargadan percekcokan yang terjadi dalam keluarga. Menurut Koestoer Partowisastro (1983) “anak-anak yang hidup dalam keluarga yang penuh dengan percekcokan atau pertengkaran dapat menjadi anak yang bingung (nervous), gugup, tidak tenang, ia merasa tidak aman dirumah”. Anak-anak seperti itu merasa tidak ada lagi tempat berlindung dan tempat berpijak sehingga menimbulkan kenakalan-kenakalan yang merupakan bentuk pelampiasan gejolak batinnya.
      Keluarga tempat anak dilahirkan dan dibesarkan, memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembentukan sebuah karakter/individu. Di kalangan lapisan menengah dan atas dalam masyarakat perkotaan sering kali pembantu rumah tanggapun sering memegang peranan penting dalam pembentukan sebuah karakter. Orang tua (ayah/ibu) sering menyerahkan pemeliharaan anak bahkan pengawasan anak kepada pembantu. Rumah hanya sebagai tempat persinggahan sementara. Hubungan anak dan orang tua menjadi tidak harmonis. Orang tua sibuk dengan pekerjaan. Anak menjadi kehilangan kontrol. Malah anak lebih mempercayai pembantu dari pada orang tua atau malah lebih mengidolakan orang lain atau kelompok bermainnya. Padahal, semestinya proses pengenalan dan pematangan diri itu di mulai dari keluarga.
      Menurut kartini kartono (2011)  “bahwa tingkah laku delinkuen tidak hanya terbatas pada strata sosial bawah dan strata ekonomi rendah saja; akan tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya di kalangan kelurga berantakan”. Selanjutnya menurut Koestoer Partowisastro (1998) “ banyak anak yang berasal dari keluarga baik-baik dan mampu. Sebagian sebab yang mengakibatkan terjadinya hal-hal itu ternyata dari kelalaian akan peengawasan dan pendidikan yang baik daari pada orang tua”.
      Kesimpulan yang dapat ditarik mengenai pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja ialah anak-anak yang memiliki pola-pola kebiasaan delinkuen pada umumnya merupakan anak-anak yaang berasal dari keluarga yang berantakan/penuh konflik. Anak yang terlahir dari keluarga yang harmonis/penuh kasih sayang akan manunjukkan perilaku yang positif, sedangkan anak yang terlahir dari keluarga yang tidak harmonis akan berperilaku negatif dan memandang dunia penuh dengan rasa kecurigaan (merasa tidak aman dan nyaman) sehingga mencari tempat yang bersedia menerima mereka dengan baik diluar lingkungan keluarga, biasanya lingkungan ini dapat mendorong anak untuk bertingkah laku negatif yang mengarah pada perilaku delinkuen.
2.      Lingkungan Sekolah
      Menurut Sudarsono (2012) “dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak remaja”.
      Menurut Ary H Gunawan (2010) sebagai berikut:
Setiap pendidikan menyiratkan bahwa pendidikan sebagai proses sosialisasi anak dalam lingkungan sosialnya. Kultur/budaya akademis, kritis dan kreatif, serta sportif harus terbina dengan baik demi terbentuknya kestabilan emosi sehingga tidak mudah goncangan dan menimbulkan akses-akses yang mengarah kepada perbuatan-perbuatan berbahaya serta kenakalan. Menurut penelitian, bila dibandingkan dengan anak yang tidak nakal, pada umumnya anak nakal tampak terbelakang dalam pendidikan sekolahnya. Secara kuantitatif anak nakal tercatat sekitar 18% tak bersekolah, terlambat sekolah sekitar 54%, dan secara kualitatif anak nakal sering membolos, kurang kesungguahan belajar, lebih berani mencontek, dan sebagainya. Terdapat keceenderungan yang khas bahwa anak nakal kurang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dibanding dengan anak yang tidak nakal. Kebanyakan anak nakal ingin cepat bekerja dan mendapatkan nafkah.
      Menurut Sudarsono (2012)“dewasa ini sering terjadi perlakuan guru yang tidak adil, hukuman/sanksi-sanksi yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, ancaman yang tiada putus-putusnya disertai disiplin yang terlalu ketat”.
      Menurut Ari H Gunawan (2010) beberapa hal yang dapat dikumpulkan sebagai penyebab rendahnya minat belajar anak-anak nakal antara lain adalah:
a.    Suka menyelewengkan waktu belajar untuk kegiatan-kegiatan yang kurang bermanfaat, seperti begadang, omong kosong, sambil merokok atau minum-minuman keras, sampai penyalahgunaan narkotika/obat-obatan terlarang, pil koplo, dan sebagainya.
b.   Suka menunda-nunda waktu belajar.
c.    Suka membolos atau meninggalkan pelajaran mengakibatkan siswa ketinggalan pelajaran, atau kehilangan bagian penting dari pelajaran, lebih-lebih bila pelajaran itu bersifat prerekuisit (misalnya matematika), maka kerugian-kerugian itu akan semakin menjadi “momok” dari studinya.
d.   Suka melamun dan kurang berkonsentrasi dalam pelajaran, atau sering mengganggu teman-temannya selama pelajaran, atau suka membadut dalam kelas untuk menarik perhatian.
      Iklim kehidupan masyarakat/ sekolah bisa menjadi penyebab langsung terhadap kecendurungan nakalnya anak. Berbagai kontradiktif nilai yang berkembang di masyarakat memiliki pengaruh kuat untuk timbulnya kecendurungan nakalnnya anak yang sedang mencari jati diri.
3.      Lingkungan Masyarakat
      Menurut Sudarsono (2011) anak remaja sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh dari keadaan masyarakat dan lingkungannya baik langsung maupun tidak langsung.
      Dikalangan masyarakat banyak sekali terjadi kejahatan seperti: pencurian, pembunuhan, pelecehan seksual, gelandangan, penganiayaan.
     Faktor-faktor penyebab kenakalan remaja menurut Kartini Kartono (2011), di golongkan dalam 4 (empat) teori, yaitu :
1.   Teori Biologis
     Tingkah laku sosiopatik atau kenakalan pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung :
a.    Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen, dapat juga di sebakan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi kenakalan secara potensial.
b.   Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku kenakalan.
c.    Melalui pewarisan kelemahan konstitutional jasmaniah tertentu yang menimbulkan tigkah laku yang sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachydac-tylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes inspidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.
2.   Teori Psikogenis
Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delinkuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaan. Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis.


3.   Teori Sosiogenis
     Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah laku kenakalan pada anak-anak remaja ini adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya di sebabkan oleh pengaruh subkultursosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian-diri atu konsep-dirinya. Jadi sebab-sebab kenakalan anak remaja itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturnya.
4.   Teori Subkultur
     Subkultur delinkuen remaja mengaitkan sistem nilai, kepercayaan/keyakinan, ambisi-ambisi tertentu (misalnya ambisi materil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas, dll) yang memotivasi timbulnya kelompok-kelopok remaja brandalan dan kriminal. Sedang perangsangnya bisa berupa: hadiah mendapatkan status “terhormat” di tengah kelompoknya, prestise sosial, relasi sosial yang intim, dan hadiah-hadiah materiil lainnya.
     Menurut teori subkultur ini, sumber juvenile delinquency ialah: sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiamioleh para remaja delinkuen tersebut.
      Menurut Kartini Kartono (2011) adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan dan kedursilaan itu antara lain ialah:
a.    Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan.
b.   Meningkatnya agresivitas dan dorongan seksual.
c.    Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga anak menjadi manja dan lemah mentalnya.
d.   Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan kesukaan untuk meniru-niru.
e.    Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal.
f.    Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekaanisme pelarian diri sertaa pembelaan diri yang irrasional.

UPAYA PENANGGULANGAN MASALAH KENAKALAN REMAJA
   A.    Upaya preventif terhadap kenakalan remaja
            Upaya preventif yakni segala tindakan yang mencegah timbulnya kenakalan-kenakalan. Soedjono Dirdjosisworo (dalam Sudarsono 2010) mengemukakan, asas umum dala penanggulangan kejahatan yang banyak dipakai oleh negara-negara maju, asas ini merupakan gabungan dari dua sistem, yakni:
1.    Cara moralistis, dilaksanakan dengan penyebarluasan ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-undangan yang baik dan saran-saran lain yang dapat menekan nafsu untuk berbuat kejahatan.
2.    Cara abolisionistis, berusaha memberantas, menanggulangi kejahatan dengan sebab-musababnya, umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu penyebab kejahatan, maka usaha untuk mencapai tujuan dalam mengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan cara abolisionistis.
            Usaha preventif kenakalan remaja dengan cara moralistis adalah menitikberatkan pada pembinaan moral dan membina kekuatan mental anak remaja. Dengan pebinaan moral yang baik anak remaja tidak mudah terjerumus dalam perbuatan-perbuatan delinkuen. Sebab nilai-nilai moral tadi akan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan delinkuen.
            Usaha preventif kenakalan remaja dengan cara aabolisionistis adalah untuk mengurangi, bahkan untuk menghilangkan sebab-sebab yang mendorong anak remaja melakukan perbuatan-perbuatan delinkuen dengan bermotif apa saja.
           


 
Ari H Gunawan (2010)    berpendapat bahwa:
Masalah “kenakalan anak” (juvenile delinquence) sering menimbulkan kecemasan sosial karena eksesnya dapat menimbulkan kemungkinan “gap generation” sebab anak-anak yang diharapkan sebagai kader-kader penerus serta calon-calon pemimpin bangsa (revitalising agent) banyak tergelincir dalam lumpur kehinaan, bagaikan kuncup bunga yang berguguraan sebelum mekar menyerbakkan wangi.

            Norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat merupakan pedoman dalam bergaul ditengah-tengah masyarakat, sehinga kepentingan-kepentingan individu yang beranekaragam di dalam masyarakat dapat di selaraskan satu sama lain. Pada umumnya didalam masyarakat norma hukum lebih dipathi daripada norma yang lainnya. Demikin pula halnya dengan remaja, mereka juga lebih mematuhi norma hukum yang berlaku daripada norma-norma lainnya. Kepatuhan remaja terhadap norma hukum yang berlaku juga memberikan dorongan yang positif, sehingga para remaja terdorong untuk membina hubungan baik dengan masyarakat dan memiliki batasan-batasan dalam bertingkah laku dan bertindak.
            Menurut Sudarsono (2012) keterlibatan masyarakat didalam menanggulangi anak delinkuen dapat berupa:
1.      Memberikan nasihat secara langsung kepada anak yang bersaangkutan agar anak tersebut meninggalkan kegiatannya yang tidak sesuai dengan seperangkat norma yang berlaaku, yakni norma hukum, sosial, susila, dan agama.
2.      Membicarakan dengan orang tua/ wali anak yang bersangkutan dan dicarikan jalan keluaarnya untuk menyadarkan anak tersebut.
3.      Langkah yang terajhir, masyarakat harus berani melaporkan kepada pejabat yang berwenang tentang adanya perbuatan delinkuen sehingga segera dilakukan langkah-langkah prevensi secara menyeluruh.
            Menurut Kartini Kartono (2011) tindakan preventif yang dilakukan antara lain berupa:
a.       Meningkatkan kesejahteraan keluarga.
b.      Perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung miskin.
c.       Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan mereka.
d.      Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja.
e.       Membentuk badan kesejahteraan anak-anak
f.       Dan lain-lain.
            Menurut David C. Tate, N. Dickon Reppucci, Edward P. Mulvey (1995)  sebagai berikut:
Traditionally, the juvenile justice system has emphasized the goals of treatment and rehabilitation of young offenders, while protecting them from punishment, retribution, and stigmatization. Violent juvenile offenders have posed a challenge to this rehabilitative ideal because of mounting public pressure to ensure societal protection. Juveniles who are perceived as dangerous or persistent in their criminal activity are increasingly transferred to the adult criminal justice system, where they may receive much harsher consequences. Whether violent delinquents can be successfully treated is a key point in the debate regarding the wisdom of this trend in juvenile justice.
            Menurut Kartini Kartono (2011) tindakan kuratif bagi usaha penyembuhan anak delinkuen antara lain berupa:
a.       Menghilangkan semua sebab-musabab timbulnya kejahatan remaja, baik berupa pribadi familial, sosial ekonomis dan kultural.
b.      Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan orang tua angkat/asuh yang memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan jasmani dan rohani yang sehat anak-anak remaja.
c.       Memindahkan anak-anak nakal kesekolah yang lebih baik, atau ketengah lingkungan sosial yang baik.
d.      Memberikan latihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib dan berdisiplin.

            Menurut Sudarsono (2012) “perbuatan anak-anak muda yang nyata-nyata bersifat melawan hukum dan anti sosial tersebut pada dasarnya tidak disukai oleh masyarakat, disebut juga prolem sosial”. Jadi pada dasarnya problem-problem sosial yang muncul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap nilai-nilai sosial dan moral yang menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan merusal.
            Sudarsono (2012) dewasa ini masyarakat sedang dilanda beberapa beberapa prolem sosial antara lain:
a.       Dengan tingginya kuantitas kelahiran, timbul masalah kependudukan.
b.      Mungkin karena merosotnya mental, timbul masalah korupsi.
c.       Karena majunya persenjataan ditunjang dengan kemelut politik, ideologi timbul peperangan.
d.      Barangkali karena degredasi moral dari individu itu, timbul masalah pelacuran baik terang-terangan maupun terselubung.
Pada garis besarnya masalah-masalah sosial yang timbul karena perbuatan-perbuatan anak remaja dirasakan sangat mengganggu kehiduoan masyarakat baik dikota maupun di pelosok desa. Akibatnya sangat memilukan, kehidupan masyarakat menjaadi resah, perasaan tidak aman bahkan sebagian anggota-anggotanya menjadi terasa terancam hidupnya. Problema tadi pada hakikatnya menjadi tanggung jawab bersama di dalam kelompok. Hal ini bukan berarti masyarakat harus membenci anak delinkuen atau mengucilkannya akan tetapi justru sebaliknya. Masyarakat dituntut secara moral agar mampu mengubah anak-anak delinkuen menjadi anak saleh, paling tidak mereka dapat dikembalikan dalam kondisi equilibrium.
            Jadi, semua komponen dalam masyarakat harus saling bekerja sama untuk mencegah atau pun mengatasi kenakalan remaja sehingga dalam masyarakat dapat tercipta suasana aman dan nyaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ari H. Gunawan. 2010. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi Tentang Berbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka cipta.
Elida Prayitno. 2006. Buku Ajar Psikologi Perkembangan Remaja. Padang : Angkasa Raya.
Gerungan. 2009. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
Hurlock. (1996). Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang kehidupan). Terjemahan Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Jahja Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.
Jersild Arthur T. (1965). The Psychology of Adolescence. New York, Amerika: The Macmillan Company.
Kartini Kartono. 2011. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Kartini Kartoni. 2011. Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Koestoer Partowisastro. 1983. Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori. 2012. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Sarlito W. Sarwono. 2012. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
Soerjono Soekanto. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudarsono. 2012. Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Winder Alvin E. (1968). Adolescence Contemporary Studies. New York, Amerika: Van Nostrand Reinhold Company.